Pelarian itu membawaku pada sebuah area cagar budaya yang kemudian dikelola menjadi tempat wisata.
Setelah menaiki bus melewati berbagai jalanan, kota, perbukitan, laut, perbatasan, kebun, sawah, dan sebagainya, aku memutuskan untuk turun di sebuah terminal di sebuah kota kecil berdataran tinggi. Karena ketika berangkat aku tidak memutuskan mau pergi ke mana, maka aku tidak menyiapkan jaket tebal. Hanya mengenakan kaus di dalam jaket jins rombeng, aku melangkah turun dari bus dengan sedikit menggigil.
Dengan terpaksa aku lalu menaiki beberapa angkot yang ramai sesak penumpang–kebanyakan adalah para petani yang pulang dari pasar setelah menjual sayur-mayur serta hasil kebun mereka–lalu turun ke mana angin berhembus.
Angin lalu memintaku untuk turun di area wisata cagar budaya candi-entah-apa. Aku turun tepat di depan plang masuknya. Secara aneh, area tempat wisata itu justru sangat sepi. Kuduga tempat-tempat seperti ini memang sudah benar-benar kehilangan pamornya akhir-akhir ini. Orang-orang sudah tidak tertarik lagi melihat candi. Mereka mulai kehilangan minat terhadap nilai sebuah bangunan. Di mata manusia modern, bangunan-bangunan semacam itu tak lebih dari sebuah benda saja. Lenyapnya kepekaan akan nilai sebuah benda dari dalam diri manusia bagiku adalah salah satu alasan mengapa penilaian orang-orang mengenai berkualitas atau tidaknya sebuah karya menjadi semakin bias dan ganjil saja.
Ah, aku sedang tidak ingin memikirkan apa-apa soal karya dan semacamnya. Maka aku kembali melangkahkan kaki mengikuti bimbingan ke mana angin berhembus.
Aku berjalan melewati petak-petak kebun sayuran. Entah sayur apa, aku tak bisa melihat wujudnya karena memang belum waktunya panen. Di sepanjang petak memanjangnya, terhampar plastik hitam dengan lubang-lubang tempat bibit ditanam. Di lahan sebelahnya, aku sudah bisa melihat bulatan-bulatan kubis hijau yang bertonjolan di tanah. Di sebelahnya lagi, entah stroberi atau tomat, aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tapi warna merah dari benda-benda mungil itu sangat mencolok perhatian. Di bawah naungan angin dingin yang berhembus melewati telingaku dan mengibarkan rambutku, aku melihat betapa warna-warninya dunia.
Selama hidup hingga sampai di titik ini, aku selalu melihat dunia sebagai tempat jahat dan kelabu. Dan itu bukannya tidak benar. Dunia ini memang jahat dan kelabu. Namun, itu bukan berarti tidak ada tempat sewarna-warni ini. Di suatu tempat di mana sebuah candi megah mulai terlupakan, dunia justru tampak berwarna-warni.
Seorang demi seorang petani yang sedang bekerja di lahannya menyapaku dengan ramah. Aku tidak menjawab dan justru menundukkan kepala dalam-dalam. Sebab mereka tidak kukenal. Dan aku takut pada orang-orang baru yang tak kukenal. Namun, tidak ada satupun dari mereka yang marah atau tampak tersinggung. Mereka terus bekerja sembari bersenandung meski kuabaikan keberadaannya. Aku merasakan hawa tidak nyaman. Bukannya betul-betul 'tidak nyaman' seperti ketika berhadapan dengan Adam, melainkan rasa tidak nyaman karena seperti sedang memasuki dunia baru yang belum pernah kujajah. Perlahan, dengan bimbingan angin yang membelai hidung, aku memasuki tempat di mana bumi dan manusia saling bersinkronisasi.
Akhirnya. Sebuah perasaan baru. Lama-kelamaan aku pun merasakan kenyamanan dan kehangatan dalam ketidaknyamanan itu.
Kakiku terhenti pada sebuah bukit kecil yang dipagari tanaman rambat. Dari tempatku berdiri, aku bisa melihat atap sebuah bangunan di atas bukit itu. Aku melongok-longok dan menemukan sebuah plang kayu bercat putih tanpa tulisan apa-apa. Aku bertanya-tanya alasan keberadaan plang kayu itu. Sekilas aku teringat pada plang kayu di kafe Insulinde, sehingga aku ingin segera pergi dari tempat itu. Namun, angin mengingatkanku mengenai tujuanku pergi ke tempat tanpa tujuan ini. Maka aku mengenyahkan pikiran untuk pergi dan justru melangkah melewati plang itu untuk masuk ke dalam sebuah properti asing di atas bukit.
Rupanya itu adalah sebuah rumah kecil yang tampak asri dengan pepohonan dan bunga. Temboknya bercat putih sempurna. Dari arsitekturnya tampak jelas kalau itu adalah bangunan peninggalan kolonial Belanda. Namun, karena tampak dirawat dengan baik, jejak ketuaannya hampir tak tampak.
Di depan bangunan itu terdapat kursi-kursi kayu yang ditata menghadap ke luar, ke arah ladang di bawahnya. Aku baru menyadari bahwa tempat itu semacam kafe kecil ketika membaca tulisan serupa menu yang dipasang di pintu masuknya. Kopi, teh, wedang rempah dan cokelat panas.
"Selamat datang. Silakan masuk. Kafe sudah buka," sebuah suara wanita dari samping rumah mengejutkanku. Pada sumber suara, aku menemukan seorang wanita paruh baya berambut pendek dan berkacamata sedang duduk di dalamnya sembari menghadap sebuah kanvas. Dari pertama pandang, aku merasa familier dengan sosok wanita itu, tapi entah di mana aku pernah bertemu dengannya.
Di atas pintu yang terbuka, terpasang tulisan 'GALLERY'. Galeri lukis kecil itu sepertinya juga dikelola oleh sang wanita paruh baya. Ia pun beranjak dari duduk dan mendekatiku.
Aku mengangguk memberi salam. "Maaf mengganggu. Saya mau kopi," kataku. Ia tersenyum singkat lalu membukakanku pintu kafe yang semula tertutup. Aku mengekorinya.
Nuansa di dalam sangatlah sejuk. Hampir tidak ada hiasan apa-apa di dalam ruangan. Hanya sebuah meja bar sekaligus kasir tempat wanita itu menyiapkan pesanan, serta beberapa kursi dan meja beraksen kayu dan mambu untuk para pelanggan.
"Silakan duduk di mana saja. Mau kopi apa?" tanyanya yang sedang mencuci tangan dari wastafel di belakang konter bar.
"Ah... Kopi hitam..." jawabku sambil mengambil kursi di depan konter bar.
Si Pemilik, wanita itu, kembali tersenyum. Mataku pun mulai memutari ruangan untuk mengamati segala detailnya–yang semuanya sangat terawat dan rapi–hingga akhirnya pandangan mataku tak bisa lepas dari sosok Si Pemilik yang sedang meracik kopi pesananku.
Meski sudah terlihat cukup berumur, ia masih tampak cantik. Rambutnya dipotong pendek gaya kekinian serta kacamata bingkai bulatnya membuatnya tampak muda. Ia kurasa tak memakai riasan sama sekali, tapi kulitnya tampak cemerlang dan bersih. Pakaiannya pun sederhana, hanya kemeja kotak-kotak merah yang di dalamya terdapat kaus yang dimasukkan ke dalam celana kargo gombrong warna cokelat muda. Meski menurut takaran ideal manusia kebanyakan penampilannya itu agak sedikit kelelaki-lelakian, tapi secara aneh itu justru terlihat sangat menarik di mataku. Rasanya memang wanita itulah yang cocok dengan pakaian sederhana semacam itu. Kadang memang ada orang yang lebih cocok hidup dalam kesederhanaan.
Namun, entah mengapa perasaan bahwa wajahnya terasa familier terus menghinggapiku.
Tak lama, kopiku terhidang. Aromanya unik, dan ketika kuseruput, aku terkejut oleh sebersit rasa jeruk di dalamnya.
"Lahan kopi itu tumbuh bersebelahan dengan ladang jeruk. Jadi, pasti ada serapan aroma atau rasa jeruk di dalamnya. Benar, kan?" tanya Si Pemilik.
Aku mengangguk. "Benar. Saya dapat merasakannya."
Lalu aku menyesap sedikit demi sedikit kopi hangat itu untuk menikmati rasa unik itu. Lama-kelamaan, tubuhku menghangat.
Aku sampai tak menyadari jika Si Pemilik terus memperhatikanku. Sampai pada ketika ia menanyaiku. "Kelihatannya masih muda sekali. Masih kuliah atau–"
"Sudah bekerja. Tidak kuliah," jawabku.
"Ah..."
"Saya sedang dalam pelarian, ah–" kataku setengah sadar. Sepertinya sebuah kuasa dari kafein dan jeruk berhasil membuatku bicara lebih banyak dari yang kuinginkan. Atau mungkin juga ini sebenarnya hanyalah letupan dari genangan perasaan yang selama beberapa hari belakangan tak tersalurkan keluar.
"Tidak apa-apa. Cerita saja. Di sini hanya ada saya. Dan saya kurang suka membocorkan rahasia. Lagipula, ke mana saya bisa membocorkan rahasia kalau terus-terusan tinggal sendirian di atas bukit ini?" jawabnya kembali dengan tersenyum. Aku tersipu sedikit karenanya.
"Saya sedang dalam pelarian," ulangku, "dari masalah di kota. Sudah lama saya tak keluar tanpa rencana dan tanpa tujuan seperti ini. Begitu sadar, saya sudah sampai si kota ini."
"Boleh saja melarikan diri sesekali. Karena dunia di luar sana memang lebih sering menyebalkan," katanya dengan menarik kursi di depanku dan meletakkan secangkir teh hangat untuknya sendiri.
Mataku berbinar karena ucapannya yang seakan memihakku itu. Aku melipat tangan, ingin bercerita lebih banyak kepadanya.
"Di kota, saya merasa diperalat oleh seseorang. Padahal saya merasa bahwa saya bisa bekerja dengan tangan saya sendiri. Orang itu merebut semua dari saya. Hal-hal yang saya sukai, rasa percaya diri saya, kebebasan saya..." aku berhenti sejenak lalu menyeruput kopi. Suara seruputan kopiku dan teh Si Pemilik menggema bersamaan. Lalu aku melanjutkan, "saya memang bukan orang yang memiliki bakat menonjol. Tapi saya tahu kalau saya punya kemampuan untuk bisa bekerja dengan baik juga. Saya ingin lepas dari pengaruhnya dan mulai bekerja sebagai diri saya sendiri."
"Kalau begitu lepaskan saja."
"... Ya?"
Si Pemilik menyandarkan punggungnya pada kursi, menatapku dengan lembut. "Kita tidak tahu apa yang betul-betul ada di luar kalau kita masih terus terperangkap di dalam kotak, meski kotak itu terbuat dari kaca sekalipun."
Aku menyimaknya. Dan jujur saja, aku semakin tertarik dengan wanita itu. Bukannya tertarik karena dia cantik atau apalah, tapi lebih pada sebuah makna yang ia bawa oleh pertemuannya denganku. Aku yakin, pertemuan ini tidak mungkin tidak berarti apa-apa.