Metamorfosa Dewa

A. Pradipta
Chapter #22

22. Kota Gaib

Aku tiba kembali di terminal kotaku pada malam hari. Bus reyot yang pada akhirnya juga menurunkan semua penumpangnya di terminal itu adalah bus terakhir yang bisa kutemukan untuk mengantarku pulang. Dan di terminal itu, aku tak menemukan satu pun angkutan kota yang masih beroperasi. Itu artinya aku harus mencari ojek atau berjalan kaki untuk pulang ke kosan.

Kulirik jam tanganku.

Jam sebelas. Pantas.

Terminal begitu sepi bagai mati. Sejenak aku lupa alasanku pulang kembali. Tiba-tiba sebelah punggungku terasa nyeri. Ketika kupijit, seketika teringat oleh perkataan Si Pemilik kafe dan galeri di atas bukit siang tadi.

Rebut sayap yang satu lagi dari orang yang sudah merebutnya.

Benar. Aku pulang memang untuk merebut sayapku kembali. Berkat perbincangan dengan Sang Pemilik tadi, akhirnya aku menyadari satu pembelajaran: bahwa eksistensiku hanya aku sendiri yang bisa memiliki dan mengkontrolnya. Maka aku segera menyalakan aplikasi ojek online untuk membawaku ke suatu tempat. Mungkin inilah waktunya memulai operasi trinitas pamungkas sekaligus paling penting.

Ojek datang tak lama kemudian, dan kebetulan itu adalah Si Gadis Ojek yang kutahu memang lebih sering beroperasi pada malam hari. Aku pun merasa agak segan, apalagi ketika teringat hal terakhir yang kulakukan terhadap kekasihnya.

"Habis dari mana? Kenapa nggak langsung pulang ke kosan aja, alih-alih malah ke tempat ini?" tanyanya setelah membaca petunjuk arah tujuanku di ponselnya sembari menyerahkan helm padaku.

Aku memakai helm dan melangkahkan kaki pada sadel. "Aku harus ketemu seseorang di rumahnya."

"Ketemu siapa malam-malam begini?"

"Nanti kuceritakan kalau sudah sampai."

Dan motor mulai melaju meninggalkan terminal. Karena malam sudah agak larut dan jalan menjadi sepi, Si Gadis Ojek bisa melajukan kendaraannya melebihi kecepatan biasanya. Sepanjang perjalanan, ia tak mengatakan apa-apa. Namun dari raut wajahnya yang melihatku berdiri sendirian di terminal bus dengan wajah lelah tadi, aku bisa melihat bahwa ia bersimpati kepadaku. Mungkin ia pikir dengan melajukan motornya lebih cepat bisa membantuku segera sampai tujuan. Aku sangat mengapresiasi bantuannya itu.

Namun, sampai pada suatu minimarket di sebuah area perumahan, ia menghentikan motornya.

"Titiknya benar yang kau masukkan ke aplikasi, kan?" tanyanya dengan menunjuk ponselnya yang tersemat di speedometer-nya. Aku melirik dari sadel belakang.

"Ng... Kurasa begitu..."

"'Kurasa', astaga!" ia memekik lalu memutar tubuhnya menghadapku setengahnya. "Kau sudah pernah ke tujuan itu belum, sih?"

"Sudah. Aku yakin sekali titiknya ada di situ kira-kira."

"Tapi dari tadi kita terus berputar-putar..."

Aku tidak menjawab lalu memutar kepala memandangi area tempatku berada. Tidak salah lagi ini adalah jalur yang kuambil ketika naik mobil bersama Adam tempo hari. Meski saat itu hujan deras, aku tetap menghafalnya. Tak lain karena ini masih daerah tempat kosku berada yang sudah kutinggali beberapa lama.

Mungkin memang agak sulit mencari rumah Adam yang begitu tersembunyi di atas bukit, apalagi di malam hari.

"Ya sudah, sampai sini saja. Aku tidak mau mengganggu waktu bekerjamu," kataku sembari berusaha mencopot helm, tidak enak pada Si Gadis Ojek yang harus menemaniku berputar-putar tak karuan tujuannya. Apalagi sudah begitu larut.

"Kuantar pulang sampai kos saja," jawabnya.

"Tidak usah."

"Nggak apa-apa. Aku nggak tega melihat kamu seperti orang linglung begitu. Kalau ada apa-apa denganmu, aku yang akan jadi tersangkanya."

"Kalau begitu, terima kasih banyak," kataku, lalu motor kembali dijalankan menyusuri kota malam hari.

Dari sadel belakang, aku melihat pada rambut kruwil Si Gadis Ojek yang berkibaran dari bawah helm-nya. Seketika aku merasa bersalah.

"Aku mau minta maaf," kataku.

"Hah?"

"Aku mau minta maaf buat kekasihmu," aku mengeraskan suara agar kedengaran.

"Minta maaf kenapa?"

"Aku memukul wajahnya!"

Jalannya motor menjadi agak oleng sehingga Si Gadis Ojek menghentikan motornya tiba-tiba. Aku tahu ia marah mendengar kenyataan itu. Maka aku berniat minta maaf padanya duluan.

"Baguslah kalau begitu," katanya justru demikian tanpa menolehkan kepala padaku.

"Kamu tidak marah?"

"Buat apa marah? Aku kadang juga menamparnya! Dia memang butuh ditampar sesekali! Terima kasih sudah menggantikan jadwalku menamparnya minggu ini!" jawabnya agak histeris.

"Tapi aku tidak menamparnya, melainkan memukulnya."

"Itu lebih baik! Berarti jatah dua minggu! Hahaha!" ia mengakhiri perkataannya dengan tertawa, lalu aku pun ikut tertawa, dan kami terus tertawa-tawa menyusuri jalan menuju kosan. Namun, aku bisa melihat wajahnya seperti memikirkan sesuatu.

Aku memintanya untuk menurunkanku di gang masuk saja. Ia berterima kasih karena aku memberinya tip sebelum ia pergi untuk mengambil pesanan lain. Lalu ia pun meninggalkanku sendirian di depan gang.

Kesunyian yang merambah malam itu membuatku tidak berniat pulang. Aku merasa harus segera bertemu Adam untuk merebut sebelah sayapku kembali, entah bagaimana caranya.

Dan satu-satunya tempat yang terpikirkan untuk bisa menemuinya sekarang hanyalah satu: hutan jati. Karena teritori itu milik seluruh penghuni Kota Gaib.

Memang terdengar ganjil, tapi saat ini aku telah memutuskan untuk menganggap Adam bukanlah manusia. Saat ini, memikirkan hal yang paling tak masuk akal adalah sebuah tindakan paling masuk akal yang bisa kulakukan.

Maka, dari gerbang masuk, alih-alih berjalan lurus masuk ke gang, aku justru berbelok melewati toko kelontong, lalu warung bakso yang telah tutup, kios rokok, lalu rumah Eva. Dari situ aku mengambil jalan tikus di antara rumah Eva dan rumah lain, hingga akhirnya tibalah aku di area kebun jati.

Bulan tertutup awan malam itu sehingga keadaan nyaris gelap gulita. Penerangan yang membantu hanyalah dari lampu kendaraan yang sesekali berlalu lalang melewati jalan raya serta lampu jalanan dari kafe Insulinde.

Lihat selengkapnya