Lagu ‘Sealed With A Kiss’ yang baru kuketahui belakangan adalah versi Bobby Vinton, mengalun dari turntable, seakan menjadi latar belakang pemandangan yang kulihat.
Adam bangun dari kasurnya yang berselimut merah pekat. Gerakannya lambat sekali, nyaris tak tampak seperti gerakan manusia. Karena ia rupanya mengenakan sweater turtle neck merah, maka ia tampak menyatu dengan kasur beserta selimut itu. Namun, gerakan lambat itu tampak seperti gerakan penari atau aktor teater yang handal. Begitu anggun sekaligus mistis. Itu adalah pengalaman pertamaku begitu terperangah melihat orang yang baru bangun tidur.
Sekian detik lamanya Adam tak bergerak dari duduknya di kasur. Ia menunduk dalam sehingga rambutnya yang panjang menjuluri keseluruhan mukanya.
Aku masih tak mampu beranjak dari tempatku berdiri. Aku menoleh cepat ke arah 'pintu masuk' yang berada di tembok belakangku. Namun, tak ada bekas bukaan apapun di situ. Tertutup tembok sepenuhnya. Seakan pintu keluar masuk yang menghubungkan dunia ini dan Kota Gaib yang luar biasa aneh itu tak pernah ada.
Ketika aku memutar kepala untuk kembali menghadap ke tempat di mana Adam berada, aku terlonjak oleh sosok Adam yang telah beranjak dari tidurnya. Tersenyum padaku.
"Sadewa?" tanyanya padaku.
Aku menelan ludah. "Benar. Ini saya, Sadewa," jawabku gugup.
Adam memiringkan kepala dan memijit lehernya sedikit sebelum kembali berkata, "syukurlah itu kamu betulan. Saya kira saya sedang lihat hantu."
"Maaf kalau mengganggu."
Adam menggeleng. "Tidak apa-apa. Saya memang lupa mengunci pintu kamar. Siapapun yang sedang butuh mencari saya pasti akan masuk sampai sini."
Aku diam saja ketika Adam mulai berjalan ke arah gramofon di pojok ruang dan mengangkat jarum yang telah berhenti memainkan lagu, lalu mengulang memutarnya lagi dari awal. Lagu yang sama dengan sebelumnya. Entah mengapa itu menjadi seperti sebuah mantra yang membuatku lupa akan tujuanku kemari.
Dengan rasa menyesal karena justru telah meminta maaf padanya karena menerobos masuk alih-alih mengutarakan apa yang menjadi tujuanku ingin menemuinya, aku berkata dengan jujur.
"Saya habis dari Kota Gaib."
Ia menoleh padaku. Matanya membundar.
"Oh, benarkah? Bagaimana bisa? Maksud saya–hebat sekali kalau bisa betul-betul sampai di sana. Seperti apa kota itu? Apakah seperti yang kulihat dulu? Maksudku, di atas kepala orang-orangnya–"
"Kenapa Anda tampak terkejut?" tanyaku balik.
Adam menaikan alisnya. "Ya. Ya, tentu saja saya terkejut. Siapa yang tidak?"
Aku tidak bisa menebak isi kepalanya sebab raut wajahnya tetap tenang, seakan tidak seperti sedang dipergoki.
"Tapi... Saya kira Anda tahu lebih banyak soal keberadaan kota itu dibanding saya."
"..."
"Saya kira Anda adalah penduduk kota itu. Saya pernah lihat Anda menjalin kontak dengan makhluk dari kota itu, dulu setelah saya mampir ke rumah Anda ini. Semua adegan itu ada di rekaman CCTV kamar saya yang sayang sekali sudah dihilangkan oleh seseorang. Setelah pergi dari kota itu pun, saya diberi petunjuk oleh rekan Anda yang membawa saya sampai di sini. Ini, tembok kamar Anda ini. Tadi saya berjalan melewatinya untuk sampai sini."
"... Kau tidak sedang kelelahan, sakit atau apa?"
"Tidak. Tentu saja tidak. Saya sehat dan tidak lelah. Saya baik-baik saja. Saya tidak tahu mengapa Anda meragukan perkataan saya yang jelas-jelas Anda yakini sebagai kebenaran. Saya juga tidak mengerti mengapa Anda tampak terkejut ketika saya ceritakan soal Kota Gaib yang baru saja saya datangi. Padahal saya yakin Anda adalah salah satu penduduk dari kota itu yang sedang dalam sebuah misi atau apapun sebutannya untuk mencari tahu soal manusia yang nantinya pasti akan kalian jadikan sebuah cara untuk menghabisi kami. Saya heran, mengapa Anda terkejut ketika tahu bahwa saya akhirnya bisa menginjakkan kaki ke–"
"Apakah ketidakterkejutan saya tadi adalah jawaban bahwa saya betul-betul tidak pernah pergi ke sana sama sekali?"
Mulutku bungkam ketika mendengar perkataannya. Sorot matanya seakan memaksaku untuk menjawab apapun. Ia masih tersenyum ketika aku menjawab dengan lirih.
"Soalnya jika Anda tahu sesuatu mengenai keberadaan kota itu, Anda tidak akan bertanya pada saya seperti apa kota itu, atau bagaimana rupa orang—"
"Bagaimana kalau ternyata tadi saya hanya berakting untuk membingungkanmu? Lihat, kau benar-benar kebingungan sekarang."
"Tidak. Saya tidak."
"Lalu apa yang kau pahami soal pertanyaan saya tadi?"
"..." aku tidak menjawab.
Adam tertawa sebelum menjawab pertanyaannya sendiri.