"Yang tadi itu apa?" tanyaku dengan susah payah menata kembali nafasku yang memburu. Bergemuruh bagai sapi.
Adam memicingkan matanya, tersenyum seperti tak terjadi apa-apa.
"Mungkin kenangan mengenai kisah hidup kita sejak di Atlantis dahulu sekali."
"'Kita'?"
"Ya. Kita. Kamu dan saya. Saya dan kamu."
"Saya tidak mengerti."
"Kehidupan berawal dan berakhir dari laut. Lautan purba mahaluas tempat berdiamnya satu makhluk bersel tunggal. Lautan purba itu tidak selalu berwarna biru. Bisa jadi merah, hijau, atau ungu. Itu tergantung perspektif. Tapi, memori tidak akan membohongi. Memori kolektif ada di setiap sel-sel otak manusia yang berevolusi dalam setiap masanya dari makhluk laut purba bersel tunggal tersebut. Jadi, tidak ada yang namanya orijinalitas. Sebagai makhluk yang semula adalah satu ketunggalan, segala benang yang menghubungkan pikiran manusia bermuara dari satu sumber ilmu pengetahuan yang sama. Jadi, yah. Tidak ada satu pun di bawah kolong langit yang merupakan sesuatu yang orijinal. Kalau kau bersikeras, itu artinya kau sombong."
"Jadi penjiplakan dan penduplikasian adalah hal yang dibenarkan?"
"Sama sekali tidak dapat dibenarkan. Penjiplakan adalah apabila kau mengambil dari sumber turunan, bukan sumber murni. Sumber turunan datang dari ilusi. Sesuatu yang bisa dikatakan sebagai fakta atau fiksi. Tapi sumber murni berada di tengah-tengahnya. Tepat di antara batas fakta dan fiksi."
"Yang di tengah adalah indah..."
"Sadewa, mengapa kau menulis?"
Aku diam oleh pertanyaan Adam yang dicetuskannya tiba-tiba. Dan tiba-tiba pula aku melupakan alasanku menulis. Aku menggeleng-gelengkan kepala, berharap dengan begitu aku bisa menyingkirkan kabut yang menutupi hampir seluruh bagiannya.
"Mengapa kau menulis?" tanya Adam lagi. Kepalanya miring. Ketika melihat iris matanya dalam keadaan seperti itu, aku teringat oleh mata abu-abu seseorang atau sesuatu yang balik mengintipku dari balik lubang misterius di tembok kamar kosku dahulu sekali.
Gambaran mengenai malaikat-malaikat jahat yang bersemayam di hutan jati membuatku bergidik.
"Sebab saya tidak bisa mati begitu saja," jawabku kemudian.
Adam melebarkan senyumnya. "Begitukah?"
"Ya. Mungkin itu alasan yang paling benar. Jika Anda yang mati, semua orang tentu masih akan mengingat keberadaan Anda karena karya Anda sudah tersebar dan menjadi memori kolektif orang-orang. Tapi, tidak dengan saya. Kalau besok saya tiba-tiba mati, apa yang bisa saya tinggalkan? Apa yang akan orang-orang ingat mengenai diri saya? Apakah keberadaan saya akan tersimpan di memori orang-orang? Tentu saja tidak. Orang seperti saya hanya serupa debri jika tak meninggalkan jejak apa saja dengan banyak usaha."
"Sekarang kau kan sudah meninggalkan sebuah jejak peninggalan. Benda itu sudah ada di rak buku banyak orang. Jadi kau mati sekarang pun, itu sama dengan sudah meninggalkan sesuatu."
"Tapi itu tidak sepenuhnya berasal dari pikiran saya."
"Bukankah tadi kita sudah sepakat mengenai memori kolektif?"
Aku tak menjawab apa-apa. Kini kemarahanku pada Adam yang terus bersemayam dalam dada kembali muncul ke permukaan.
"Bukankah Anda yang selama ini memanfaatkan saya untuk tujuan tertentu?" tanyaku geram secara retoris.
Adam melirikku. Ia tersenyum sedikit lalu berjalan ke meja kecil yang berada di sebelah gramofon. Sepertinya itu adalah meja kerjanya ketika ada di rumah. Tumpukan kertas dan pena berada di atasnya. Ia kemudian menarik kursi kayu dari dalam celah meja lalu perlahan duduk di atasnya.
"Proyek yang sedang saya tulis selama ini–yang membuat saya harus mencari seorang asisten untuk menulis proyek penting lainnya, adalah sebuah novel autobiografi. Itu adalah autobiografi tentang Anda dan kehidupan Anda sebagai penulis."
"Maaf?"
"Tidak ada yang ditutupi dari perkataan saya tadi. Itu adalah proyek besar. Autobiografi mengenai Sadewa sang penulis. Makanya sudah dari awal saya bilang bahwa dua proyek yang kita kerjakan bersama ini sama-sama penting. Sama-sama akan menghasilkan sesuatu."
Kepalaku pening oleh kata-katanya.