Demi Dewa aku tidak pernah membunuhnya!
Aku memang pernah berniat membunuhnya, tapi aku tidak jadi melakukannya!
Namun mau berapa kali pun aku meneriakkan kalimat itu, tak ada satupun yang percaya. Keberadaannku sendirian di tempat mayat Adam tergeletak di atas genangan darahnya sendiri berikut keterangan setiap orang di kafe Insulinde dan kantor penerbitan mengenai tanda-tanda obsesi berlebihanku pada Adam dirasa sudah cukup membuatku dijebloskan dalam sel sempit ini selama sepuluh tahun lamanya.
Sepuluh tahun, ya…
Aku memang masih mampu mengukur waktu, tapi aku tak mampu lagi mengukur ruang.
Aku tak yakin tempat apa ini. Berukuran tiga kali tiga dengan perabot seadanya. Agak mirip dengan kamar kosku dulu. Namun dari bagaimana mereka–orang-orang yang selalu mondar-mandir dan menanyaiku berbagai macam hal itu–memperlakukanku, jelas ini adalah sebuah penjara. Aku telah dituduh membunuh Adam selama sepuluh tahun ini.
Penjara ini bikinan manusia. Karena aku sudah bukan lagi manusia, jadi segala apa yang mereka katakan dan perbuat menjadi tak ada artinya. Sejak peristiwa Adam yang menyayat tangannya sendiri itu, aku bisa melihat satu sayap di punggungku secara nyata. Bukan hanya dari pantulan cermin, melainkan juga ketika mandi, berganti pakaian, ataupun tidur. Ketiga aktivitas yang harusnya sederhana itu menjadi begitu sulit dilakukan begitu aku mampu melihat sayapku sendiri. Sudah tentu makhluk yang harus melipat tubuhnya ke samping selama tidur agar tak melukai sebuah sayap di punggungnya ini bukanlah manusia.
Pada suatu hari yang dingin, Sang Sipir membuka pintu ruanganku. Kukira itu sudah jadwalku dieksekusi mati, tetapi rupanya ia hanya menyodorkanku sebuah benda besar berbentuk persegi panjang yang dibungkus kertas koran.
"Boleh dibuka dan dilihat. Tapi nanti sore akan aku ambil lagi," katanya dingin, lalu dengan dingin pula melangkah keluar pintu. Sebelum sosoknya betul-betul menghilang dari pandangan, aku bisa melihat kepalanya yang ditumbuhi rambut berpotongan undercut itu melirikku singkat.
Aku menunggunya menutup pintu dengan sempurna sebelum kembali mengamati bingkisan berbungkus koran itu.
Daripada langsung pada benda itu, aku justru lebih tertarik pada koran pembungkusnya. Itu koran bertanggal sepuluh tahun lalu, tepat di tanggal ini. Aku memutar sedikit benda itu secara horizontal untuk membaca tajuk berita utamanya yang ditulis ukuran besar bercetak tebal. Mungkin kira-kira isinya begini.
Adam sang penulis kesayangan negeri ditemukan sekarat dalam percobaan pembunuhan yang dilakukan dengan menyayat pergelangan tangannya dengan pena indah di atas meja kerjanya yang bersebelahan dengan gramofon indah. Kabarnya, darahnya muncrat membentuk pola bunga mawar merah menyelubungi kertas-kertas naskahnya yang terhampar simetris di atas meja. Saat ini ia sedang dalam perawatan di rumah sakit dan sang pelapor sekaligus satu-satunya orang yang ada bersama Adam akan diperiksa. Menurut penuturan teman-temannya, Adam pernah bercerita kalau ia ingin selalu hidup dalam keadaan terkenal. Orang-orang merasa bahwa cita-cita yang ingin ia capai semua sudah terlaksana. Ia ingin dikenang sebagai sosok pria penulis terkenal dengan wajah rupawan, dibanjiri kekayaan, dan karir cemerlang. Ia takut jika suatu saat semua privilese yang dimilikinya itu hancur atau hilang. Maka mumpung masih memiliki itu semua, ia memilih untuk bersembunyi dari segala pihak yang berencana menyerangnya. Dan rupanya, akhir-akhir ini memang ada satu penulis pendatang baru yang mulai merebut tahtanya. Merebut semua perhatian orang darinya. Ia perlahan ditinggalkan. Namun, selama Adam masih ada, si penulis pendatang baru itu merasa tidak tenang. Jadi, bisa jadi itu adalah motif untuk si penulis melancarkan aksinya hari ini. Ya, orang itu, orang yang menemukannya sudah hampir mati adalah penulis pendatang baru yang ia maksud. Penulis itu dengan malas-malasan menghubungi ambulans yang pada akhirnya terlambat datang agar Adam dipastikan berhasil ia bunuh sampai mati dan menutupinya dengan motif bunuh diri.
Sadewa, saksi mata sekaligus tersangka dari peristiwa tersebut, tidak akan pernah bisa menuliskan kisah pertemuan hingga perkenalannya dengan Adam pada sebuah autobiografi karena sudah terlanjur diadili.
Aku segera menyobek lembaran koran itu. Bukan karena kesal atau apa, tapi karena sudah terlanjur bosan membaca berita itu. Ya, kalau ditotal mungkin sudah ribuan kali aku membaca artikel berita yang diterbitkan pada pagi hari di mana hidupku berubah drastis itu, hingga aku hafal sampai ke tanda bacanya.
Entah apa maksud sang pengirim membungkus bingkisannya dengan koran berartikel itu. Mungkin hanya untuk mengerjaiku, atau ingin mengingatkanku pada 'kesalahan' yang kulakukan di masa lalu, atau mungkin untuk kembali menyuarakan betapa ganjil isi berita itu–yang kutahu dari Sang Sipir, bahwa ternyata ada banyak orang di luar sana yang selalu bergerak untuk membebaskanku dari segala tuduhan pembunuhan dengan cara menyuarakan betapa ganjil isi tuduhanku. Aku tidak tahu, siapa orang-orang kurang kerjaan yang rela meluangkan waktu untuk membelaku itu. Namun, aku sudah terlanjur tak mau peduli.
Aku menggulung kertas-kertas koran itu hingga membentuk bola-bola kecil lalu melemparkannya dengan gaya free throw ke keranjang sampah di sudut ruangan. Setelah puas bermain-main, aku baru memperhatikan isi dari bingkisan itu.
Lukisan potret diriku yang tengah berdiri di depan sebuah konter bar dalam sebuah bangunan serbaputih dengan menyandang tas, mengenakan jaket jins, serta kaus putih yang dimasukkan ke dalam celana jins biru muda. Meski dilukis hanya dengan satu palet warna yang dihampari ornamen berupa titik-titik serupa cahaya kunang-kunang, sosok itu begitu mirip denganku yang lebih muda, dengan detail kantung mata dan punggung yang agak membungkuk lemas. Namun ada satu hal yang membuat lukisan itu jadi tidak mirip diriku, yaitu adanya dua buah sayap berwarna hitam kelam yang tersemat di kedua sisi punggungku. Setahuku, sampai sekarang sayapku baru ada satu saja.
Aku jelas tahu siapa pengirim lukisan itu.
Namun sayang, lukisan itu tidak boleh kusimpan lama-lama. Kalau kutanya mau dibawa ke mana lukisan ini, mereka pasti akan bilang kalau lukisan ini akan disimpankan oleh para sipir hingga waktuku bebas. Aku meringis. Serantang nasi acar titipan salah seorang keluarga tahanan saja mereka tidak mampu untuk menjaganya, apalagi lukisan yang begitu bagus dan jelas tampak mahal jika diuangkan.
Aku menatap lekat lukisan itu hingga pada detailnya. Pada gambar jaketku yang sudah lenyap entah di mana karena dibawa menjadi barang bukti pembunuhan yang penuh terciprat darah merah Adam, pada celana jinsku yang kalau dilihat sekarang tampak membuat kakiku semakin terlihat panjang, pada rambutku yang masih tebal dan hitam seluruhnya, dan pada kulitku yang masih begitu kencang dan berbinar.
Seharusnya aku belum masuk usia yang begitu tua, tapi rasanya aku sudah di sini sejak zaman purba, atau mungkin karena suasana hati dan pikiranku yang tak pernah baik selama di sini, aku menua dengan begitu cepat.
"Sepuluh tahun sudah berlalu sejak kejadian itu."
Suara berat Sang Sipir mengejutkanku. Ia sudah berdiri di ambang pintu dengan bersandar pada kusen dan melipat tangannya.
"Aku tidak tahu kalau sekarang sudah sore," kataku dengan mencengkeram erat lukisan potret diriku itu.
"Anggap saja sudah sore," katanya ringan sembari berjalan ke arahku lalu merebut lukisan diriku dari tanganku, sebelum kemudian memiringkan kepala selama mengamatinya. "Ketika kamu masih muda, mukamu mirip penyanyi City Pop, ya."
"Ini bukan pertama kalinya aku dibilang begitu," jawabku agak kesal.
"Hm..." katanya begitu saja. Kulirik ia masih mengamati lukisan itu lekat-lekat dengan mata sipitnya. Karena kesal, aku pun beringsut ke atas kasur lalu berbaring menyamping. Ketika aku menarik selimut menutupi tubuh, sebuah benda lain dilemparkan begitu saja di atas tempat tidurku oleh Sang Sipir. Aku memungutnya.
"Apa ini?" tanyaku sembari mengamati benda berbentuk persegi panjang kecil itu. Benda itu berwarna merah pekat.
"Ganti dari lukisanmu yang kuambil. Kalau yang itu, boleh kau simpan sampai kapanpun," katanya. Dan ketika ia menutup mulutnya, gantian mulutku yang ternganga.
Pada sampul buku–benda yang dilemparkan Sang Sipir tadi–itu tercetak sebuah tulisan besar di atas latar belakangnya yang berwarna merah pekat.
THE DIVINE METAMORPHOSE.
Lalu di bawahnya ada gambar lukisan sehelai sayap sederhana, dan tak jauh di bawahnya ada…
"D. Samsa itu kamu, kan?" tanya Si Sipir lagi. Aku menelan ludah. Ia melanjutkan perkataannya. "Selama sepuluh tahun ini kau tidak menulis apa-apa di sini. Tapi seluruh dunia tahu kalau kau adalah penulis karena kasusmu ini menarik begitu banyak orang–ah, kurasa kau tahu itu. Nah, novel pertamamu yang dulu sempat ditarik dari peredaran karena dikira orang sebagai jiplakan novel orang yang kau bunuh itu, diterbitkan lagi secara underground entah oleh siapa. Tapi ternyata banyak orang yang suka. Meski awalnya dilarang, novelmu tetap dicetak dalam jumlah banyak. Semua terjual. Banyak sekali ulasan yang baik. Dari situ, banyak yang menilai kalau novelmu itu berbeda dari yang ditulis Adam. Ada kemungkinan besar kalau kau tak menjiplak dia. Kau tahu, sehari-hari kau hanya makan tidur dan berak di sini, tapi di luar sana, kau sudah punya julukan baru yang diberikan oleh para penggemarmu."