"Jadi kamu lebih memilih pergi daripada melamarku?" ucap Zahratussifa terkejut tak menyangka akan keputusan laki-laki didepannya.
"Maafkan aku, Zahra. Aku tak bisa membuat abi kecewa." Lelaki tampan didepannya yang bernama Fachryzal Abdul Hanan hanya bisa mengucap pelan sambil menunduk.
"Tapi kau bisa menghalalkanku sebelum pergi, kan? Kau kan tau, Umi tak akan mengizinkan aku pergi dari pondok pesantren ini sebelum aku menikah!" Gadis yang mengenakan jilbab dan gamis warna abu-abu itu masih saja mengharapkan kisah manis dari seorang ustadz muda yang berusia dua puluh sembilan tahun itu.
"Aku ini laki-laki, Ra. Pernikahan itu tak semudah yang dibayangkan. Saat ijab qobul sudah berlangsung, maka tanggung jawabku sangat besar. Aku belum siap untuk itu. Aku masih berencana untuk membuka usaha di Solo, agar aku bisa mencukupi kebutuhan keluargaku kelak tanpa merepotkan orang tua." Zahra hanya bisa terdiam mendengar penuturan Ustadz muda di depannya. Fachryzal memang belum berencana untuk berkeluarga. Bahkan diusianya yang sudah terbilang matang, ia belum pernah merasakan jatuh cinta. Selama ini hidupnya hanya dihabiskan untuk belajar dan beribadah. Zahra tak bahwa sudah banyak keluarga terpandang yang berusaha menjodohkan anak gadisnya dengan Fachryzal, tapi lelaki itu selalu menolak dengan halus.
Bahkan karena kedekatannya selama ini, gadis itu mengira bahwa Fachryzal akan menikahinya sebelum pergi ke Solo. Gadis yang taat agama itu sudah membayangkan akan menemani hari-hari ustadz muda itu di kota tersebut. Hanya saja jawaban lelaki berkulit sawo matang itu menghapus semua kebahagian semu itu. Hatinya terluka, membuat tubuhnya lemas tanpa daya. Zahra baru mengerti, ternyata kecewa itu akan sesakit ini.
Zahra merupakan wanita solekhah anak dari Ustadz Zaky, salah satu guru yang mengajar di pondok pesantren milik keluarga Fachryzal. Pesonanya sebagai ustadz muda yang selalu tersenyum ramah membuat Zahra jatuh kedalam pesonanya. Karena dirinya tak berniat pacaran, dia memberanikan diri untuk mengungkapkan perasaannya kepada Fachryzal. Gadis itu tak tahu bahwa lelaki yang diharapkan akan menjadi imamnya sudah berkali-kali dijodohkan dan ditolaknya. Namun, karena mereka tumbuh bersama sejak kecil Fachryzal tak menolak, tapi juga tak menerima. Dia menggantungkan perasaan Zahra.
Cukup lama gadis itu terdiam, dia belum bisa menerima keputusan Fachryzal. Tapi sebagai gadis yang tahu diri, akhirnya dengan pasrah dia menjawab dengan kekecewaan. "Baiklah. Aku tidak akan memaksamu. Selamat tinggal, Fachryzal." Tak menunggu lama lagi, ia segera berpaling dan hendak pergi, hingga panggilan lembut dari lelaki itu membuatnya menolehkan kepala. Ada sepercik harapan kecil dihatinya, berharap laki-laki yang disukainya akan berubah pikiran.
"Jangan lupa sebut namaku dalam do'a-do'amu ya." Lelaki yang memakai sarung dan baju koko itu berucap dengan santai sambil menodongkan jari-jarinya membentuk pistol dan mengedipkan sebelah matanya tanpa mengerti rasa sakit seperti yang dirasakan Zahra, dia juga tersenyum sangat manis. Tapi, senyumnya yang tak menampakkan kesedihan sama sekali membuat Zahra semakin terluka. Gadis itu langsung berpaling dan berlari dengan ditemani air mata yang membanjir hingga jilbabnya ikut basah.
***
Sore itu Fachryzal sudah bersiap dengan pakaiannya yang sudah di tata rapi dalam sebuah koper. Ia memejamkan mata sejenak sambil mengingat-ingat adakah barang bawaannya yang tertinggal. Merasa yakin semua kebutuhannya sudah dibawa, dia segera turun kelantai bawah menemui Abinya.
"Assalamu'alaikum, Bi." Sapanya lembut pada abi tercintanya.
"Wa'alaikumussalam, Fachry." Begitulah Ghaffar memanggil nama anaknya.
"Umi ada dimana, Bi? Kenapa gak nampak? Aku mau makan masakannya Umi dulu sebelum berangkat." Ucap lelaki yang memakai baju koko pendek dan celana panjang itu.
"Umimu masih bersama anak santri untuk menyiapkan makanan. Fachry, kamu sudah siapkan dengan tugas yang Abi berikan untukmu?" Ghaffar bertanya dengan ragu-ragu sambil melihat ekspresi anaknya. Namun seperti biasa anak kesayangannya itu selalu menampakkan wajah tersenyum dan pandangan teduh.
"InsyaAllah aku siap dengan tugas ini. Lagipula aku juga ingin membuka sebuah kedai kopi bersama Edo. Mumpung belum menikah, Bi. Aku mau mencoba hal-hal baru untuk menambah pengalaman." Ucap Fachry dengan jawaban yang mantap hingga kekhawatiran di wajah Abinya menghilang sudah.
" Alhamdulillah kalau kamu sudah mantap. Kamu harus ingat, disana kamu membantu Pak Dirga yang mencari guru ngaji untuk mengajar dikampungnya. Disana banyak anak-anak yang belum bisa mengaji. Bahkan remaja-remaja dan orang tua juga banyak yang belum bisa, namun mereka mempunyai kemauan untuk belajar. Tak ada guru mengaji disana. Makanya beliau minta bantuan Abi. Kamu harus sabar dan ikhlas ya, Nak. Mengharaplah hanya kepada Allah." Fachryzal mengangguk paham apa yang dimaksud Abinya.
"Zal?" tanya Ghaffar lagi seolah-olah ada keraguan dalam hatinya. "Apa kau benar-benar tak berencana untuk menikah dalam waktu dekat? Abi bisa mencarikan wanita yang solekah untukmu." Fachryzal terdiam sesaat dan menarik napas panjang. Lalu dia menjawab dengan wajah tertunduk.
"Aku takut, Bi. Bagaimana setelah aku menikah malah membuat kualitas ibadahku menurun? Aku gak mau jatuh cinta, Bi! Aku mau terus mengabdi aja untuk terus beribadah dan mengajar ngaji." Lelaki tampan itu masih terus saja bersikukuh dengan pendiriannya.
"Menikah itu bisa menjadi penyempurna ibadahmu, Zal. Abi yakin suatu saat nanti kau akan menikah dan mencintai wanita yang tepat." Ghaffar meyakinkan anaknya sambil tersenyum lembut.
"Aku akan memikirkannya nanti. Sekarang fokusku adalah mengajar di tempat yang baru dan membuka kedai kopi." Lelaki yang mengantongi tasbih di bajunya itu menggemgam lembut tangan abinya.
"Semoga di kota yang kau datangi nanti hatimu akan terbuka dan mengiklaskan diri untuk mencintai wanita yang akan menemani hingga kau tua nanti." Ghaffar berucap dalam hati sambil mendoakan yang terbaik untuk anaknya.
Ghaffar memindai penampilan anaknya yang sudah rapi dan terlihat berwibawa. Sebagai seorang ayah, tentu ia tidak rela melepas kepergian anaknya. Tapi ia pura-pura tegar dihadapan semua orang. Apalagi Ghaffar adalah pemilik sekaligus penanggung jawab sebuah pondok pesantren yang terletak di Jawa Timur. Memang tidak terlalu luas, tapi muridnya berjumlah sekitar dua ratus orang. Sebuah tanggung jawab yang besar baginya.
Selain itu, dia memang merencanakan hal ini agar anak kesayangannya memperoleh pengalaman baru di luar pesantren.