Aku rela meninggalkan zona nyamanku di pondok pesantren yang kutinggali sejak kecil demi merasakan perjuangan yang sesungguhnya di kota perantauan~~Fachryzal
"Disini kamu harus mengajar ngaji dari anak-anak sampai orang tua. Setelah Dzuhur jadwalnya anak SD karena mereka pulang lebih pagi. Sore harinya remaja-remaja setingkat SMP dan SMA, bahkan ada yang sudah kuliah mau ikutan mengaji. Sedangkan malam hari ba'da maghrib mengajarkan ngaji para orang tua. Jadi sepertinya kamu hanya sedikit memiliki waktu luang disini." Ucap Dirga menjelaskan panjang lebar dan dengan lambat, supaya Fachryzal mengerti apa yang di ucapkannya. Lagi-lagi lelaki tampan di depannya itu mengeluarkan senyuman manis.
"Oh kalau itu sih tidak masalah, Pak. InsyaAllah saya siap menjalaninya." Fachryzal berkata dengan mantap. Dia lalu bertanya lagi kepada Dirga. "Tapi pagi hari saya bisa mengurus bisnis saya seperti yang kita bicarakan di telfon kemarin kan, Pak?"
"Tentu saja! Kamu bebas melakukan apapun di sini. Kalau kamu butuh bantuan bilang aja ke saya gak usah sungkan." Fachryzal mengucap terimakasih dengan tulus diiringi senyum manisnya. Dia tak tahu kalau Dirga masih menyimpan suatu informasi yang sulit untuk di katakannya.
"Sebenarnya ada tugas kamu yang lebih berat lagi sih." Dirga ragu-ragu akan mengucapkannya.
"Memang tugas berat seperti apa ya, Pak?" Lelaki bertubuh atletis itu tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Ah, sudahlah! Besok kau akan mengetahuinya sendiri. Sekarang tidurlah untuk mempersiapkan hari esok." Dirga menepuk bahu lelaki yang lebih tinggi darinya itu. Fachryzal memang terbiasa menuruti apa kata orang yang lebih tua darinya. Walaupun masih penasaran, dia tidak mempertanyakan lagi. Dia segera membersihkan diri dan mulai terlelap.
***
Malam hari yang belum begitu larut, Faiza bersama teman-temannya masih mengobrol di kafe yang biasa mereka datangi. Ada beberapa orang dalam satu geng. Ada laki-laki dan perempuan duduk berdekatan menjadi satu. Mereka berbincang bebas dan penuh tawa.
Di tengah obrolan bersama teman-temannya, Faiza nampak tersenyum melihat sebuah pesan di handphonenya. Pesan-pesan berisi gombalan receh dari seorang lelaki bernama Galih.
Dulu mereka bertetangga, namun karena urusan pekerjaan keluarga Galih pindak di Bandung. Kala itu Galih dan Faiza masih duduk di bangku SMA. Sebelum kepindahannya, dia telah menjalin kasih dengan Faiza. Tanpa ada teman-temannya yang tau. Kini mereka berdua masih terlihat mesra walaupun hanya berkomunikasi jarak jauh.
"Kamu chatting sama siapa sih, Za? Dari tadi senyum-senyum melulu!" Arga mendekatkan pandangannya ke handphone Faiza, tapi gadis itu dengan cepat menyembunyikan layarnya dari pandangan lelaki yang duduk disampingnya.
"Sama seseoranglah! Masa sama kucing!" Ucap Faiza sinis.
"Iih buat apa kamu merhatiin yang jauh disana? Mending sama aku aja, udah ganteng, tajir, selalu ada buat kamu lagi." Arga hendak merangkul pundak gadis yang memakai jaket hoodie itu, tapi belum sampai menyentuh, tangan lembut Faiza menampik tangan Arga. Eci yang melihatnya langaung tersenyum.
"Kalian sukanya duduk di pojok ternyata mau pacaran ya?" Sindir Eci sambil tersenyum. Faiza yang tak suka dengan sindiran itu segera menyambar bungkus rokok dan korek dari saku Arga. Dia segera menyendiri di luar kafe sambil menghisap rokok. Sedangkan Arga masih memandangnya dari kejauhan sambil tersenyum.
***