"HUAAA!" Jeritan Bulan memekakkan telinga.
Aku tak banyak bicara, hanya mengusap punggungnya dengan lembut. Dia memelukku erat. Beberapa pasang mata menatap lekat. Bibir sinis mencibir. Suasana kantin menjadi terasa tak nyaman.
Tak apa, aku sudah kebal. Masalah seperti ini sudah sering kali terjadi pada sahabat cantikku ini. Bahkan, setiap kalimat yang akan terdengar dalam isakannya sudah dihapal di luar kepala.
"Dia jahat banget sama aku, La. Semua cowok sama! Nggak peka!"
"Enggak semua juga kali, Lan."
"Semua pokoknya! Emang ada cowok yang peka? Hah!"
"Kak Langit contohnya, peka banget. Aku lagi sedih aja dia langsung tau padahal cuma berubah suara sedikit."
"Kak Langit itu beda cerita!"
Aku melongo. Memangnya Kak Langit bukan cowok apa? Emang cantik, sih, tapi tetap cowoklah.
Bulan menyedot ingus, lalu menatapku galak. "Pokoknya aku benci cowok enggak peka!"
Akhirnya aku hanya bisa terus mengusap punggung Bulan.
"Surya nggak pernah ngertiin aku, La! Dia bilang aku tuh cengeng, lemah bisanya cuman nangis!"
Adegan dramatis ala sinetron remaja itu akan berlangsung selama lima belas menit, terhenti karena bel masuk berbunyi. Aku menatap sedih sepotong bakwan yang belum sempat tersentuh, juga es teh yang masih berembun gelasnya. Setelah memasang wajah sok keibuan, kubujuk Bulan untuk kembali ke kelas. Namun, dia bergeming.
"Ayolah, Lan. Nanti kita telat."
"Aku nggak mau ketemu dia dulu."
Aku mengembuskan napas berat, lupa kalau Surya sekelas dengan kami. Bulan hanya menatap hampa langit menandakan dirinya telah berniat membolos. Aku menggaruk-garuk kepala, memutar otak untuk membujuk si cantik ini.
Membolos bersama atas nama setia kawan tidak ada dalam kamusku. Wajah kecewa Ayah saat memberikan nasehat panjang lebar tentang persahabatan ketika dulu diriku menjadi ketua komplotan anak-anak suka nyolong mangga tetangga sudah terekam di otak. Menurut Ayah, persahabatan sejati adalah ketika kita dapat memberikan kebaikan di dalamnya.
"Jadi, kamu mau memperlihatkan pada Surya kalau dia benar. Kamu cewek lemah, cuman bisa nangis."
Amarah Bulan tersulut. Dia menatapku kesal.
"Apa maksud kamu, La?"
Bagus! Bulan terpancing. Sekarang, tinggal menyiram bensin dalam kobaran api kemarahan.
"Kalau kamu melarikan diri seperti ini, berarti dia benar dong."
Bulan terdiam. Dia terlihat memikirkan ucapanku. Raut wajahnya mulai tampak ragu.
"Kamu harus buktikan ke dia kamu baik-baik saja. "
Bulan mengangguk-angguk, tampaknya mulai menyetujui kata-kataku.
"Sekarang bersihkan wajah kamu, terus kita balik ke kelas."