Gadis bertubuh tegap memasuki kelas. Wajah manis khas Medan-nya tampak berseri-seri. Dia segera duduk di sebelahku. Aku merangkul bahunya dengan riang. Berita besar itu memang telah tersebar di seantero sekolah. Sekar kembali membawa kemenangan untuk cabang olahraga bulutangkis antar SMU se-Provinsi Jawa Tengah sama seperti tahun lalu.
"Aku ikut bangga, Kar," ucapku sambil menepuk-nepuk bahunya.
"Selamat ya, Sekar." Bintang ikut tersenyum bangga. Sekar menyengir lebar memperlihatkan gigi kelincinya.
"Makasih, La, Bintang," sahut Sekar. Kepalanya celingak-celinguk seolah mencari sesuatu. "Bulan di mana?" tanya Sekar. Aku dan Bintang kompak memasang wajah malas.
"Biasa ...," sahutku dan Bintang hampir berbarengan.
Tak lama, Bulan masuk kelas dengan wajah berseri, merangkul erat lengan Surya. Wajahnya tetap terlihat polos meskipun bisik-bisik tak sedap memanaskan kuping. Cukup banyak cewek di kelas yang iri pada Bulan. Mereka telah lama mengincar, Surya, anak pengusaha terkaya nomor dua di kota ini. Namun, di saat yang bersamaan mereka juga sadar diri bukanlah lawan yang sepadan dengan Bulan.
Ekspresi Bulan berubah menjadi lebih riang ketika matanya menemukan Sekar. Dia refleks melepaskan pelukannya di lengan Surya dan berlari menuju kami. Sang pacar tampak kecewa tapi berusaha memaklumi tingkah polos Bulan.
"SEKAR!" Bulan memeluk Sekar. "Selamat, ya!" serunya riang.
"Makasih, Lan." Sekar terkekeh.
"Aku sampai nggak bisa napas waktu detik-detik terakhir kamu melakukan smash keren itu," cerocos Bulan antusias.
Bulan mulai berceloteh tentang pengalaman tegangnya di pertandingan final kemarin sore. Kami memang sampai pergi ke Semarang untuk memberikan dukungan di pertandingan final. Untung saja, tepat di hari minggu.
"Kalau nggak napas kamu bisa mati," celetuk Bintang.
Bulan mendelik. Aku juga memelototi Bintang. Anak itu selalu melucu dengan candaan yang tidak lucu, ditambah lagi dengan wajah datarnya saat melontarkan guyonan. Namun, Sekar malah tertawa lepas. Bagaimana bisa dia memang menyukai candaan Bintang yang garing itu? Aku dan Bulan hampir saja main hakim sendiri.
"Sudah! Sudah!" Sekar menahan gerakanku dan Bulan.
Tenaga atlet wanita terbaik sekolah tentu mampu menahan kami. Bintang tersenyum penuh kemenangan. Aku dan Bulan masih mendengkus-dengkus.
"Eh Bulan juga menang lomba nyanyi, 'kan?" Wajah Bulan langsung merona.
"Ah itu sih tidak ada apa-apanya, cuman event kecil-kecilan."
"Ah, kau bisa saja merendah, Bulan."
Tawa Sekar pecah. Tangan tegapnya menepuk-nepuk punggung Bulan pelan. Wajah khas Medan itu tampak semakin manis.
Bulan terkekeh. Bintang hanya menggelengkan kepala sebentar untuk kemudian kembali menekuri buku fisikanya. Obrolan kami kembali menghangat. Tema bercampur aduk mewarnai pagi.
Yah, Memang kehadiran Sekar sangat berarti. Wajah manis yang selalu riang, suara yang tegas, tetapi hangat, sangatlah kami rindukan sepekan ini. Aku tertawa kecil. Tak terasa sudah hampir dua tahun kami bersahabat, kecuali Bulan yang sudah menjadi sahabatku sejak SMP. Aku merasa bangga memiliki sahabat-sahabat keren seperti mereka. Meskipun aku sendiri hanya anak biasa dengan kemampuan rata-rata ....
"Kau kenapa lagi, La?" Sekar menatapku cemas. Aku menyengir lebar.
"Ah, tidak apa-apa. Hanya saja aku kepikiran, Sekar hebat dalam bidang olah raga. Bulan jangan ditanya, suara bening banget, juga terampil memainkan semua alat musik. Lalu Bintang, siapa di sekolah ini yang tak kenal si jenius kita ini," aku terkekeh sebelum melanjutkan ucapanku, "sepertinya hanya aku yang tidak bisa apa-apa ...."
Bintang mengalihkan pandangan dari buku, menatapku kesal.