“Panggil aku Sis, kuberikan kau kebebasan untuk memaknai artinya. Tapi, tetap saja kau tak boleh memanggilku dengan panggilan lain selain Sis.”
Kau hanya tersenyum tulus saat mendengar kalimatku yang terkesan mengajak ribut di hari pertama kita berkenalan. Di setiap pertemuan kita, selalu kupastikan kau tak boleh tahu lebih dari nama panggilanku. Sudah ribuan kali kukatakan padamu, orang bodoh mana yang mau menceritakan seluk-beluk dirinya kepada orang yang baru ditemuinya!?
Anehnya, aturan konyol itu tak berlaku lama untukmu. kau hanya diam saat mendengar ceritaku. Kau tak memaksaku untuk bercerita lebih detail. Bahkan, yang paling kusukai adalah bisa berkeluh-kesah kepadamu kapanpun dan dimanapun tanpa perlu pusing mendengar sanggahanmu akan keluhan super-duper konyolku. Penting ataupun tidak, kau tetap di sini tanpa pernah meninggalkanku.
Kita berdua memang belum terlalu lama mengenal, tetapi hati kecilku berkata kau dikirimkan Tuhan sebagai penyimpan rahasia yang baik untukku. Tak seperti beberapa temanku yang selalu membocorkan rahasiaku di kala kami bermusuhan. Walaupun, di awal pertemuan aku seribu kali yakin kita takkan mungkin pernah bermusuhan. Namun, jika suatu saat kita bermusuhan, aku tetap yakin kau pasti tetap menjadi penjaga rahasiaku paling top.
Kau tahu betul, bercerita bukanlah kemampuanku. Kalau diberikan skala dari satu hingga sepuluh, kemampuanku dalam bercerita tak lebih setengah dari angka satu. Walaupun begitu, aku selalu senang bercerita tanpa peduli kau mau mendengar atau tidak. Tanpa berpikir bahwa setiap orang punya rintangan masing-masing. Ya, kau juga pasti punya masalah. Tapi tak pernah hal itu terlintas dalam benakku. Bisa dibilang, dari segi empati aku juga sangat buruk! Kuakui, aku hanya mementingkan perasaanku.
Masa kecilku kuhabiskan untuk memberi tahu banyak orang, bahwa hanya akulah yang paling menderita. Tak ada orang yang lebih menyedihkan dari diriku. Seandainya, hal itu dijadikan sebuah pelombaan, aku sangat percaya diri. Akulah yang akan meraih gelar juara umum berturut-turut tiap tahunnya. Tidak akan ada orang yang bisa merebut gelar ini. Kalaupun ada, takkan kubiarkan itu bertahan lama.
Di usiaku yang tak lagi remaja ini, egoku sudah bisa kukendalikan. Walau tak sepenuhnya hilang. Sudah kuturuti saranmu untuk menulis. Benar katamu, menulis adalah cara terbaik untuk mencurahkan segala rasa. Tanpa perlu tahu siapa saja yang membaca tulisan kita. Karena dalam bercerita, sejujurnya tanganku lebih jujur dibanding mulutku yang memiliki gengsi selangit. Jadi, kuputuskan untuk menulis semua cerita tentangmu yang selama ini kupendam.