Aduan penggorengan dengan spatula membangunkanku dari mimpi buruk untuk kesekian kalinya. Bangun dengan keringat bercucuran seperti nya telah menjadi kebiasaan yang cukup buruk bagi ku beberapa hari belakangan.
Melihat alarm yang belum menyala, aku menghela nafas pelan dan berinisiatif untuk mematikan nya terlebih dahulu. Kutengok seseorang yang masih asyik menyelami lautan mimpi nya di kasur sebelah. Selimut yang seharusnya menjadi penghangat badan dijadikannya penghangat lantai lagi dan lagi.
Aku tersenyum tipis melihat kebiasaan yang tergolong aneh dari kakak perempuan kedua ku. Kutinggalkan Ia, segera beranjak dari tempat tidur ku untuk melihat siapa yang membuat kegaduhan di dapur rumah pagi ini sembari memulihkan kesadaranku seutuhnya.
Aku tersenyum memandangi seseorang di depanku yang tingginya tak lebih tinggi dariku, model rambut pendek gelombang warna cokelat hazel yang sama persis dengan milik ku, hidung mancung yang jelas terlihat jika menolehkan se inci kepala nya saja ke arah samping terlihat begitu sibuk dengan penggorengan di depan nya, aku mendekatinya perlahan, memeluk nya erat dan melayangkan kecupan hangat ku padanya.
.
.
“Wah, anak bontot mama sudah bangun, toh. Tumben.” Sahut nya sambil tetap fokus pada apa yang Ia kerjakan di hadapan nya.
Perlahan digesernya tangan ku yang melingkar di perut nya. Tak lama, Ia menatap ku dalam.
“Masih sama, nak?” Tanya nya sambil menatap ku cemas.
“Hmm, masih Ma. Adek engga papa kok. No need to worry. (tidak perlu khawatir) Hmm wangiiii.” Berusaha mengubah guratan kecemasan yang nampak terlihat jelas di wajahnya.
“Ambil piring gih, Mama ambilkan nasi goreng nya sayang” sahutnya lagi dengan mengecup pelan pipi ku.
Aku langsung bergegas mengambil beberapa piring, meletakkannya di meja makan dan kembali ke dapur dengan 1 piring di tangan ku.
“Kok adek jadi sering mimpi gitu sih, Nak. Kamu berdoa kan tiap mau tidur? Mama curiga deh, nak.”
Tawa ku renyah terdengar begitu mendengar celoteh Mama.
“Masih pagi, Ma. Udah suud’zon ih.”
“Abis kamu dek, masa mimpi berulang dan mimpinya juga enggak bisa dibilang bagus kan, nak.”
“Adek engga tau, Ma.” Balas ku pelan.
“Kenapa, Ma?” sahut seorang pria tampan potongan cepak dengan rambut basah khas orang sehabis mandi.
“Itu Pak, adek mimpi buruk lagi” singkat Mama.
“Kenapa, nak? Kamu lagi ada masalah? Cerita sini sama Bapak” sahut nya lugas.
“Masalah ku mau beli handphone baru tapi engga dibeli beliin” balas ku sambil berjalan melewatinya dengan menatap nya sinis sembari memegang sepiring nasi goreng andalan Mama kearah meja makan.