Metamorph

Agnesya Febriana
Chapter #2

Marvelia Eshal Sastranegara

Tringggggggggg.. tringgggg

Suara bunyi bel tanda program belajar mengajar akan segera dimulai membuyarkan sejenak pikiran ku yang masih berjalan dengan begitu santai di ujung jalan, membuat ku nampak sedikit tersentak, mulai berlari kecil menuju gerbang sekolah yang jaraknya masih agak lumayan jauh dari tempat ku berdiri saat ini.

Beberapa kali menghela nafas agak berat, dengan beberapa kali menyikap peluh disekitar poni depan rambut ku. Dan akhirnya sampai beberapa detik sebelum gerbang sekolah menengah pertama itu ditutup. Ada rasa lega terselubung dalam benak ku yang mana aku tidak diharuskan untuk dihukum di tengah terik nya sinar mentari pagi ini.

“Telat lagi” sahut beberapa gerombolan pria ketika melihat ku mulai memasuki ruang kelas.

Mendengar celotehan gerombolan geng pria dikelas membuatku memutar bola mata acuh, sibuk mencari teman sebangku ku karena setiap seminggu sekali akan ada perubahan tempat duduk yang sudah di instruksikan oleh wali kelas.

“Deret kedua dari belakang baris ketiga dari pintu.” Teriak kecil seorang gadis dengan kerudung yang terpasang sangat rapih menutupi rambutnya yang cukup jelas terdengar oleh ku.

“Belakang banget, Jah” sahutku mendumel seraya menghampiri teman sebangku ku. Meletakkan tas, mengambil posisi paling nyaman dari duduk ku, lalu menelungkup kan kepala ku di kedua sisi lengan ku. 

“Engga tau nih, Vel. Jadi makin aneh area tempat duduk kita. Nanti aku mintakan pindah sama Bu Ucu.” Pungkasnya khawatir.

“Nanti aku minta sendiri. It’s okay. (tidak apa apa)” Jawabku menenangkan teman sebangku nya.

Bermasalah dengan mata minus di atas 3,75 baik kanan maupun kiri cukup memberatkan jika mendapat bangku yang cukup jauh dari papan tulis. Penerangan lampu di kelas serta cahaya luar yang masuk kedalam kelas juga begitu memiliki peran penting.

“Marvelia Ashel Sastranegara”

“Vel”

“Vel”

“Velaaa!” ucap teman sebangku ku sambil menoel tangan ku pelan.

Aku yang sedari tadi sibuk dengan lamunanku mulai memulihkan kesadaran ku seutuhnya dan menjawab.

“Vela hadir, Bu.” Sahutku lantang.

“Pagi pagi sudah mengantuk, Vel?” sarkas guru ilmu pengetahuan sosial ku yang tengah meng absen satu per satu murid di kelas ku.

“Benar sekali, Bu. 100 buat Ibu.” Ujarku pelan namun cukup untuk membuat satu kelas ku menjadi sangat gaduh dengan menertawakan kelakuan ku barusan.

Aku hanya dapat tersenyum kecut mendapati mata Bu Ucu kian menatap ku tajam sembari memberi simbol agar teman – teman ku kembali diam.

“Sudah anak anak, ayo fokus, Ibu mau absen untuk kehadiran kalian, yang tidak menjawab selama 2 kali Ibu anggap tidak hadir.” Terang Bu Ucu tegas.

Yang dijawab dengan kalimat serentak “Baik, Bu.” Baik olehku dan juga teman teman sekelas ku.

Melihat jam di kelas yang begitu lambat sekali berdetik dengan pelajaran ilmu pengetahuan sosial yang sangat amat membuat otak ku memanas, akhirnya ku putuskan untuk menyenderkan kepala ku sebentar kearah meja dihadapan ku.

Teman sebangku ku yang asyik sekali memerhatikan sambil merangkum materi yang tengah disampaikan oleh Bu Ucu tampak menghiraukan ku.

Kutolehkan kepala ku ke arah lain mendapati seorang pria yang sedang menatapku dalam. Ku angkat tangan ku, ku gerak gerakkan di depannya namun tak kunjung direspon. Kesal menghadapi sikap nya, kulemparkan penghapus karet yang ada di meja ku.

“Aduh.” Ujarnya menahan cenat cenut setelah lemparanku mendarat tepat di dahinya.

Sontak semua mata yang ada di kelas ku menatap nya heran dan tertawa terbahak begitu melihat jiplakkan penghapus di dahi pria itu. Dahi putih pucat milik nya tercemari oleh warna merah merekah hasil keisengan ku. aku tertegun melihatnya yang nampak biasa saja bahkan masih memandangiku dan tidak sama sekali merasa marah pada perbuatan ku padanya barusan.

“Maaf” ujarku pelan dengan kedua tangan membentuk simbol layaknya Namaste.

Dan dia hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala nya pelan, sesekali menyatukan alisnya ketika tangannya tak sengaja menyenggol jeplakan penghapus di dahinya.

Keadaan kelas yang dipenuhi tawa mulai mereda yang lagi - lagi dikarenakan teguran dari Bu Ucu. Pasalnya, seluruh guru dimana pun Beliau mengajar pasti sangat amat membenci kegaduhan yang dapat membuat suasana belajar mengajar nya menjadi kurang kondusif.

“Nih.”

“Apa?”

“Kupu kupu. Ya susu coklat lah.”

“Engga usah, makasih.”

“Yee, dosa lu.”

“Oh ya? Masa?”

“Iya serius.”

“Bodo”

Lihat selengkapnya