Metamorph

Agnesya Febriana
Chapter #3

Alamat Tak Dikenal

Pagi ini tampak lebih bersinar dibanding pagi - pagi yang lalu. Ada beberapa perbedaan yang cukup mencolok dari diriku pagi ini, yakni, aku begitu bersemangat sekali untuk pergi ke sekolah, aku bangun tepat ketika alarm ku berbunyi dan mimpi buruk ku tak muncul malam tadi. Buat ku, ini saja merupakan anugerah terbesar dari Tuhan yang tanda nya doa ulang tahun ku diterima. Alhamdulillah.

Sekeluarnya aku dari kamar, aku melihat raut Mama yang beda dari biasanya. Tampak cemas. Aku ikut bingung. Ingin sekali menanyakan namun aku fikir baik bagiku untuk diam hari ini dan tidak menanyakan apapun terlebih dahulu sampai mama yang benar benar sudah siap untuk berbicara.

Aku lewat di hadapannya sambil menyapa pelan. Dihiraukan. Aku yang sungguh childish (kekanakan) kala itu begitu gemas untuk bertanya.

“Kertas apa itu, Ma?”

“Surat, Nak, tapi engga ada nama pengirim nya, alamat nya juga kurang begitu paham Mama, buat Bapak juga sih surat nya.” Ujar mama spontan.

“Kamu udah bangun, nak. Ayo cepetan siap siap sayang, nanti keburu telat. Mama antar ke sekolah ya.”

Aku hanya meng iyakan dan menuruti instruksi Mama.

“Nak, Bapak pernah ada cerita ke kamu tentang daerah Sukabumi engga?”

“Hmm, engga Ma.” Sahut ku cepat.

“Humm, yaudah sayang nanti Mama coba tanya sendiri. Yuk habiskan makananan nya sayang, abis itu berangkat.”

Lantas diantarkannya aku menuju sekolah. Tak butuh waktu lama, aku sudah sampai tepat di gerbang sekolah. Pendapat ku, menggunakan sepeda motor jauh lebih asyik dibandingkan dengan jalan kaki hahaha.

Seperti biasa agenda ku dengan Mama, mencium tangan nya dan menghujaninya dengan kecupan hangat di pipi, sampai kegiatan ku terhenti ketika mendengar suara tawa khas yang tanpa melihatnya pun aku sudah dapat menebaknya dengan pasti siapa dia.

“Pagi, Tante. Wah, anaknya manja ya, Tan.” Sapa nya sambil meledek ku, membangunkan sungut – sungut di kepala ku.

“Hallo, Vin. Hahaha, iya nih. Buruan diajak masuk, Vin.” Jawab Mama menahan tawa geli nya karena melihat perubahan wajah ku yang Nampak kesal.

“Bawel lu.” sahut ku, melirik Alvin sinis yang langsung dipukul pelan oleh Mama.

“Jangan gitu cantik.” Sahut Mama lembut.

“Tau tuh, Tan. Emang jahat Vela mah.”

Mata ku membesar melihat aduan menyebalkan nya kepada Mama.

“Apaan sih. Emang kita kenal apa? Daahh, Ma.” lantas mencium tangan Mama lagi dan lari secepat kilat meninggalkan nya masuk ke dalam gerbang.

Aku masih cukup mendengar teriakan manja Alvin untuk memintaku menunggunya. Ketika aku menoleh ke belakang, aku melihat Alvin bercanda gurau dengan Mama. Manis. Alvin memang dapat dibilang salah satu laki – laki yang cukup manis dengan siapapun yang Ia temui, kecuali padaku.

“Aduh..”

“Eh?”

“Vel, sakit..”

Ku coba cek pergelangan tangan dan kaki laki – laki yang baru saja terhuyung mencium manisnya aspal sekolah ku.

“Ngga berdarah.”

“Coba cek lagi.

“Ngga ada luka. Lu tipu – tipu ya?”

“Mana, pu. Sakit beneran ini.”

“Yaudah, gue panggilin temen lu biar dianter ke UKS.”

“Kenapa engga sama lu? Kan lu yang buat gue jatuh.”

“Mau ditolongin atau engga?”

“Itu bukan nolongin, tapi minta tolong.”

“Minta tolong juga salah satu upaya buat nolongin, kan?”

“Hm, yaudah terserah Ashel aja.” Pungkasnya mengakhiri perdebatan sembari menyematkan eye smile andalannya.

“Ashel?”

“Iya. Nama lu Ashel kan.”

“Vela.”

“Marvelia Ashel Sastranegara. Ashel nama panggilan spesial dari Hean seorang.”

“Wah, kayaknya kepala lu yang kebentur deh.”

“Wah, pantes. Sekarang cuma ada lu doang di kepala gue. Gimana dong?”

.

“Vel?” sahut Alvin dari kejauhan lantas membuyarkan keheningan kami.

“Weh, kenapa lu?” tanya Alvin.

“Tanya temen lu.”

“Gue maunya tanya sama lu.”

“Ditubruk temen lu.”

Seketika Alvin mengarahkan pandangan nya kepadaku.

“Vel, lu egga kenapa - kenapa kan?”

Aku terperangah. Mengangguk pelan. Ia tersenyum lembut, kemudian mengalihkan pandangannya lagi dariku.

“Yaudah, lu bisa kan ke UKS sendiri. Ayo, Vel !!”ajaknya membantuku berdiri dan meninggalkan Hean yang masih sibuk merintih kesakitan.

“Itu, Hean, ditinggal?”

“Emang kenapa?”

Ada sedikit perasaan tak tega ketika meninggalkan Hean sendiri dengan rasa sakit yang sedang menghampirinya.

“Ngga jadi.”

“Ngga jelas.”

Hening. Tak ada satupun antara aku maupun Alvin yang memulai percakapan kembali, hanya hiruk pikuk keramaian sekolah kami yang terdengar, melihat beberapa anak tampak tertawa terbahak, ada juga yang sibuk berlarian kesana kemari. Ahh, masa – masa seperti ini yang mungkin saja aku rindukan nanti. Begitu hening sampai aku kaget ketika mendegar Alvin memanggil teman sekelas ku.

“Dan, Hean bantuin tuh, jatuh tadi.” Ujar nya seraya menepuk pundak Dani (teman sepergaulan Hean) yang sedang berjalan ke arah kelas.

“Lah, kenapa dia?” menengok nya beberapa saat sambil berjalan perlahan ke arah Hean.

Dibalas Alvin dengan menaikkan sedikit bahunya ke atas. Dari jarak yang tak begitu jauh, ku dengar rintihan Hean sewaktu Dani menertawakannya puas.

“Eh? Kok kearah sini?”

“Anter lu dulu biar engga nubruk orang kayak tadi.”

Aku tersenyum mendengar lontaran kalimat yang keluar dari bibir sahabat ku ini.

“Bukannya lu suka cowok sipit?”

“He’em.” saut ku malu

“Hean sipit.” Ujar nya yang membuat ku terperangah.

“Hyun Bin sipit.” Ujar ku pelan dengan mata berbinar.

“Nah!”

“Apa?”

“Sama “HYUN BIN” mu aja.”

“CIH, TUMBEN.”

“Kan dia jauh, hmm segini lah kemungkinan ketemu nya.” Ujar nya lagi sambil menunjukkan bagian kuku di jari kelingkingnya.

Tak kusangka kata – kata menyebalkan itu keluar dari nya, langsung ku ambil ancang – ancang untuk memukul kepalanya. Dan…. Pletak!!

Tepat sasaran. J

“Akhhh!! Sakit Vel!” ujar nya mengeluh kesakitan.

Lihat selengkapnya