Kami mulai terbiasa (lebih tepatnya dibiasakan) tinggal bersama ibu sambung. Ia memang cantik, gemar berdandan dan merawat diri. Bisa dibilang ia bisa mengurus rumah dan juga kami, tapi tetap tak seterampil ibu kami. Ia mengajarkan kami bagaimana cara merawat diri sebagai seorang gadis, dan kami menurutinya karena ayah pun ingin kami mulai bisa merawat diri.
Di awal-awal pernikahannya ia selalu rajin bangun pagi, membersihkan rumah dan memasak. Fyi, aku tinggal bersebelahan dengan rumah kakek dan nenekku. Jadi ibu sambungku ini sudah sangat terampil mengambil hati mereka.
Kamu memiliki hati ayahku, tapi tak begitu dengan hatiku (dalam hati ku bergumam).
Kakakku mungkin bisa bersikap friendly padanya, adikku juga karena mungkin ia masih kecil dan belum mengerti. Tapi entah ada apa dengan aku, aku merasa menganggapnya sebagai orang asing. Mungkin karena ia telah mengambil posisi ibuku, dan dalam hati kecilku masih ada rasa tidak terima.
Pernah tidak, merasakan bahwa kamu tidak menyukai sesuatu dan ternyata memang sesuatu itu terbukti tidak baik untukmu?
Tak terlalu lama untuk Allah membuktikan bahwa istri baru ayahku ‘totally a matrealistis person’. Berawal dari kecurigaanku bahwa istri ayahku itu selalu teleponan bersama pria yang ia sebut sepupunya dengan rentang waktu yang sangat lama, dan yaa disitu ayahku sedang tidak ada. Ia selalu bertugas keluar kota dan bisa seminggu lebih baru pulang kerumah. Bahkan akhir-akhir ini wanita itu bahkan sering keluar rumah dan meninggalkan rumah dalam keadaan berantakan. Sikapnya sangat bertolak belakang dibanding ketika awal pernikahannya dengan ayahku.
Jika ayahku ada dirumah, ia tidak pernah telponan bahkan keluar rumah. Bahkan ia selalu memperhatikan dan melayani ayahku dengan sangat baik, sampai tak ada celah untuk ayahku curiga padanya.
Aku pernah membicarakan ini pada ayah, bahwa istrinya selalu teleponan dengan lelaki lain yang disebut sepupunya saat ayah tidak ada. Tapi ayah tidak percaya dan selalu berkata,
“Biarin aja, ibu mu kan keluarganya jauh. Mungkin dia rindu jadi teleponan terus. Kalau ada ayah dia ingin melayani ayah dengan baik”. HUFTTT! Kenapa sih ayah terlalu percaya sama dia, dan selalu saja berpikir positif tanpa mempertimbangkan kemungkinan dari kata-kataku.
Karena ayah tidak mempercayai kata-kataku, akupun berhenti menjadi mata-mata dirumah. Mulai masa bodo pada apa yang terjadi, dan berpikir mungkin apa yang selama ini aku curigai itu hanyalah penyakit hatiku yang masih tidak bisa menerima orang baru dirumah kami yang berstatus ‘istri ayahku’.
Hari demi hari aku coba menerima dan mulai membiasakan diri. Mulai bisa membuka diri, dan sedikit banyak bercerita tentang diriku dan keluarga kami. Ternyata ikhlas itu sulit, kamu tau ilmunya tapi belum tentu bisa mengamalkannya.
Setiap awal bulan istri ayahku mengunjungi kampung halamannya, dan seperti biasa ia selalu diantar Ayah. Tapi hari itu berbeda, saat mereka berangkat istri ayahku berbisik padaku,
“Maafin ibu yah”, sambil memelukku dengan mata yang berkaca-kaca.