Hari berikutnya saat upacara, pikiranku terus terngiang-ngiang dengan kenyataan bahwa ayah dan ibuku sudah berpisah, yang sekaligus aku, kakak dan adikku menjadi anak broken home. Seolah tidak nyata, karena mengingat memori-memori kami dahulu sebagai keluarga yang harmonis.
Aku benci dengan kenyataan broken home, orang-orang memandangnya sebagai hal yang negatif meskipun sudah tak lagi tabu di Indonesia. Yang paling kupikirkan adalah bagaimana nasib adikku yang masih belia, yang masih butuh kasih sayang kedua orang tuanya.
Tiba-tiba aku terbangun di UKS, aku lupa apa yang terjadi, yang kuingat hanya keadaan keluargaku, ternyata petugas memberi tahu bahwa saat upacara aku pingsan.
Sedari kecil aku memang lemah, aku pernah terkena flek di paru-paru dan harus rutin berobat ke rumah sakit khusus dan tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan. Buku ku dipenuhi darah karna sering mimisan, itulah alasan ayah dan ibu sangat overprotektive terhadapku daripada saudaraku yang lain.
Akhirnya aku dijemput ayah dan dipulangkan kerumah, sepanjang jalan suasana menjadi canggung. Aku dan ayah saling terdiam. Aku diam karena aku tahu begitu aku berbicara air mataku akan tumpah ruah karena aku berusaha membendungnya.
Sesampainya dirumah ada kakakku yang ternyata pulang lebih awal juga. Kakak bertanya padaku kenapa aku pulang cepat, dan aku bercerita apa yang terjadi disekolah.
“Ga usah terlalu dipikirkan, menjadi anak broken home ga separah yang kamu pikirin dek” ucap kakakku untuk menenangkan pikiranku.