Hari berdoa, satu dari 365 hari dimana para dewa turun ke dunia untuk mewujudkan harapan manusia.
“Sampai bertemu lagi Natalie!”
“Kau juga Natasha.”
Dari kedua sisi bulan tampak bayangan Natasha dan Natalie, memecah bulan menjadi dua bagian. Keduanya hilang bersama bayangan matahari yang menutupi bulan.
Pulaunesia, persinggahan pertama Natasha dan Natalie saat hari berdoa. Natasha dan Natalie menyaksikan persimpangan hidup seorang model dengan adiknya yang seorang idola.
Indira, sang kakak yang bekerja sebagai model papan atas dengan beberapa skandal disekitarnya.
Almira, sang adik yang mengikuti jejak Indira bergelut di dunia hiburan dan debut sebagai idola baru.
Malam dimana hari berdoa keduanya mengunjungi teluk kecil di dekat gereja. Almira dengan semangat mengajak kakaknya kesana untuk berdoa bersama. Malam yang pekat tiba-tiba menutupi seluruh teluk, seolah bulan ditelan oleh raksasa malam.
Kilatan besi yang tipis muncul di gelapnya malam, lebih tepatnya terhunus ke Indira. Tanpa sempat menghindar Indira jatuh ke teluk yang teramat dingin tersebut.
Senyuman yang muncul bersamaan cahaya bulan membuat seluruh tubuh Indira gemetar ketakutan.
“Almira, tolong... aku tidak bisa berenang!”
Almira hanya tersenyum dan membuang pisau berlumuran darahnya ke teluk. Meninggalkan sang kakak yang terluka dan hampir tenggelam. Senyuman di wajahnya menggambarkan rencana sempurnanya yang berjalan mulus.
“Sekarang aku bukan lagi si nomor dua, kakak.”
Mata Indira yang mulai buram membuatnya kehilangan sosok Almira dari balik gereja. Tubuhnya sudah mati lemas karena kehilangan banyak darah dan dinginnya air memperburuk keadaannya.
“Apa kesalahanku? Malaikat kecilku mengkhianatiku, bahkan aku tetap tidak bisa membencinya. Berikan aku kesempatan kedua untuk menebusnya, Tuhan.”
Kemudian pikiran Indira membawanya ke tidur yang teramat panjang di dasar teluk. Sosok Indira kini telah lenyap dari dunia dan digantikan dewi penjaganya yang selalu mengamatinya, Natasha.
Setengah bulan yang tampak di malam berdoa menyoroti sosok Indira yang keluar dari dasar Teluk. Kulitnya yang putih pucat karena mati beku mulai tampak kecoklatan seperti manusia yang masih hidup. Bahkan luka di punggungnya sudah menutup tanpa bekas.
Indira yang terbangun di alam bawah sadarnya melihat sosok Natasha yang duduk di tepian air. Indira sudah tahu kalau dirinya sudah meninggal, namun dimana ini?
“Hai Indira kan, selamat kau berhasil memanggilku. Kau kini mendapat kesempatan kedua untuk menebus kesalahanmu.”
“Huh mungkin itu yang ingin kau dengar, namun nasib buruk karena yang terbangun adalah diriku. Kendali atas tubuhmu kini sepenuhnya di tanganku. Aku sendiri tidak mengerti, kasus seperti ini tidak pernah terjadi sebelumnya.”
Indira hanya bengong dan menganggap semua ini adalah mimpi terburuknya. Namun sekali lagi dia tersadar dari semua pengalaman 20 tahunnya, bahwa mimpi terburuk adalah kenyataan itu sendiri.
“Pertama, dimana ini?” tanya Indira untuk menernihkan pikirannya.
“Kita di alam bawah sadarmu.”
“Dan kau siapa?”