Sebagai anak kedua aku selalu dituntut untuk melampaui kakakku. Berulang kali kata seperti, “Lihatlah kakakmu dia luar biasa!” atau “Kenapa kau tidak bisa sepertinya!”. Tawa yang diberikan papa dan mama hanya untuk Indira, kakakku yang sempurna.
Papa dan mama sosok yang dikenal sebagai wajah dunia hiburan. Wajah mereka berdua berhasil diturunkan kepada kami, perwujudan sempurna dari kecantikan. Tapi tidak dengan bakatnya.
Sepertinya hanya kakak yang menerima bakat mereka. Kenapa hanya aku yang menderita? Pertanyaan itu berulang kali meracuniku.
“Aku akan menjadi model.”
Pernyataan dari seseorang yang diberi hadiah kecantikan dan bakat yang sempurna. Rasanya perutku mual mendengarnya karena sudah jelas Indira bisa melakukannya.
Melihatnya yang terus muncul di majalah, papan iklan, dan televisi membuatku semakin muak. Kenapa harus orang sepertinya yang menjadi saudaraku?
Saat itulah poster agensi pencari bakat menarik minatku. Alasanku semata-mata hanya demi mengejar kakak sempurnaku.
Tapi dunia tidak akan berjalan sesuai keinginanmu. Walau aku muntah darah sekalipun, kerja keras tidaklah cukup untuk menjadi terkenal. Dunia tidak akan tersenyum pada anak yang baru lulus sekolah.
“Ah... bagaimana caramu bisa berada disana, kakak”
“Dunia hanya kejam padaku, mereka terus memandangku rendah”
“Bukankah ini tidak adil?”
Pucuk gaun mini berenda milikku kusut karena genggaman tanganku. Rasa sakit melihat para pesaingku yang bernyanyi dengan penuh sorakan penonton. Sambutan yang mereka terima sangat berbeda dibandingkan denganku.
Mereka begitu bersinar seperti halnya kakak. Masih kuingat jelas ekspresi intimidasi yang mereka berikan padaku sebelum naik ke panggung. Padahal sebelum ini aku mengagumi ketampanan mereka di televisi.