"Let him kiss me with the kisses of his mouth! For your love is better than wine;"
Song of Solomon 1:2
Siang ini hujan turun dengan deras, membuncahkan air pada seluruh kota. Tak hanya air, hujan juga membawa angin kencang dan hawa dingin. Jalanan sepanjang jalur utama macet , hujan juga membuat beberapa orang pengendara motor memilih untuk menepi sejenak. Rata-rata dari mereka tidak membawa mantel --padahal tahu hanya ada dua musim di negara ini, kemarau dan penghujan.
Pada sebuah kedai kopi di pinggir jalan itu. Seorang wanita muda terlihat asyik dengan pena dan kertas bekas bill tagihan kopi. Sesekali alisnya mengernyit, entah kenapa wajahnya yang cantik terlihat begitu tegang dan serius. Jemarinya bergerak lincah saat memencet tombol angka pada ponsel. Dengan aplikasi calculator ia menghitung jumlah nominal yang tertera pada tulisan tangan.
Bayar cicilan rumah, bayar cicilan kendaraan, bayar tagihan listrik bulan ini, tagihan air, dan biaya makan, gumamnya dalam hati.
Hampir tak ada sisa, bahkan kurang bila aku harus mengantar ibu ke dokter. Wanita itu mengusap keningnya. Saat yang lain merasa dingin karena hujan deras, wanita Itu malah berkeringat.
Ya Tuhan apa yang harus aku lakukan? Aku bahkan sudah menjual cincinku hari ini. Satu - satunya benda berharga yang tersisa. Wanita itu masih kalud dalam pemikirannya.
Benar, saat ini ia tengah mengalami kesulitan keuangan. Gajinya sebagai seorang marketing bank tidaklah cukup untuk menutup semua kebutuhan hidup. Cicilan bank, tagihan listrik, belum biaya makan, tunjangan orang tua, dan kebutuhan mendesak lain.
Kopi disamping ponsel terlihat tak lagi mengepul. Uap air telah menghilang, suhu, aroma, dan rasanya pun tak lagi sama. Ia bergegas menenggaknya sampai habis, jam istirahat makan siang sudah hampir berakhir. la harus kembali ke kantor.
"Nona Jasmine, pesanan Anda." Seorang pelayan datang membawa sebuah kopi take away lalu meletakannya pada meja Jasmine. Americano panas, terbungkus sempurna dalam cangkir kertas dan kantong plastik lentur warna hijau. Mereka bilang plastik itu dari olahan singkong, jadi lebih go green. Jasmine tak peduli dengan plastik lembek itu, mau plastik itu ramah lingkungan atau tidak pun tetap tidak akan bisa mengubah fakta seputar kehidupannya yang kian hari kian menyedihkan.
"Thanks," ucapnya singkat dibarengi sebuah senyuman.
Jasmine berlari kecil menembus hujan, menyebrang pada zebra cross dan sampai pada sebuah bank swasta. Dengan cepat kakinya melangkah masuk, menimbulkan suara kemelotak yang cukup keras saat ujung heels beradu dengan lantai pualam.
Jam satu siang, jam - jam paling padat, area tunggu dipenuhi nasabah. Semua mengantri, kalau bisa ingin segera didahulukan. Transaksi keuangan yang umum terjadi pada sebuah kantor cabang. Setor, tarik tunai, kliring, print buku, sampai pengurusan kartu ATM yang terblokir. Jasmine juga tak punya waktu untuk melirik mereka. la harus segera menemui kepala departemen marketing funding. Atasnya.
Jasmin sudah berjanji akan menemui pimpinan itu nya setelah jam makan siang berakhir. Ada hal penting yang ingin pria tua itu sampaikan. Jasmine menyapa beberapa rekan kerja nya saat berpapasan pada koridor.
Setelah merapikan diri dan mengambil napas sepanjang mungkin, Jasmine memberanikan diri mengetuk pintu bertulis kan direktur pemasaran.
"Masuk!" Terdengar suara pria dari dalam ruangan.
Dengan ragu-ragu Jasmine masuk ke dalam ruangan, di sana seorang pria paruh baya duduk pada kursi menatap lekat layar monitor tablet pintar. Wajahnya yang bersahaja dan terlihat kalem sedikit menegang begitu melihat kedatangan Jasmine.
"Duduklah, Jasmine."
"Baik, Pak." Jasmine dengan perlahan-lahan duduk di depan meja kerja dari kayu oak mewah.
Pria itu menghentikan pekerjaannya, ia melepaskan kacamata dan mengalihkan pandangannya pada sosok Jasmine, dengan mata tuanya ia menatap lamat-lamat pada wanita cantik berpotongan sebahu. Rambut hitam itu terlihat lembab, basah karena air hujan.