Miaw Mencari Keadilan Tuhan

Nur Fitriani
Chapter #3

Kucing Ras di Balik Kaca

Kegiatan sehari-hariku memang begini saja – duduk diam di depan rumah menunggu jatah makan. Aku sedikit iri dengan burung-burung di langit yang bisa berpetualang nun jauh di sana. Meski begitu, aku tidak berniat untuk pergi. Bukan karena tidak bisa, tapi tinggal di sini lebih baik. Aku tidak perlu berurusan dengan kucing oren. Diam seperti lugu tetapi nyatanya mereka adalah preman komplek. Terakhir kali aku pergi dari rumah, wajahku dicakar dalam dan aku pincang seminggu karena jatuh dari area pertarungan yang berada di atap bangunan. Baik, aku oren juga tapi sebagian buluku berwarna putih. Aku masih memiliki sifat lemah lembut dan baik hati.

Rasa bosan itu terobati ketika Thomi menyalakan kotak sihir bercahaya dimana manusia, hewan, gedung-gedung bisa muat di dalamnya. Magic! Bagaimana semuanya bisa masuk ke dalam kotak sekecil itu? Yang paling aku sukai adalah kucing berwarna biru yang muncul setiap pagi. Dari dalam kantongnya, muncul alat-alat yang bisa mengabulkan semua permintaan. Aku begitu senang ketika mengetahui hal itu, sehingga dengan segera aku mengecek perutku, tapi aku tak menemukan kantongnya, hanya gelambir lemak.

Jika aku memiliki kantong ajaib itu, aku akan membuat permohonan untuk menjadikanku manusia saja. Aku ingin makan ikan, memiliki tempat berteduh dan juga mencoba es krim. Namun pada akhirnya aku membatalkan do’aku ke Tuhan karena manusia diciptakan untuk menghadapi masalah. Tapi nyatanya, Tuhan malah menciptakan manusia itu kecil dan mudah menangis. Aku pernah mendengar tentang dinosaurus, kenapa Tuhan tidak menciptakan manusia sekuat dinosaurus saja jika Tuhan memberikan manusia masalah sebesar itu?

“Meskipun dinosaurus kuat, nyatanya dia punah ketika aesteroid menghantam bumi. Kamu tahu, sains menyatakan kecoak sudah ada di bumi bahkan 112 juta tahun sebelum dinosaurus ada di muka bumi. Artinya, kecoak sudah berumur lebih dari 360 juta tahun,” kata Thomi pada Manusia Kecil yang tengah memelukku lembut.

“Kalau begitu, Paman apakah itu berarti manusia itu lebih lemah daripada kecoak?” tanya Manusia Kecil dan itu membuat Thomi terlihat kebingungan.

“Maksudnya?”

“Kecoak saja bisa bertahan dari aesteroid, kenapa ada manusia yang tidak memperbolehkan kucing masuk ke dalam rumah hanya karena dia kucing kampung?"

"…"


***

Sore ini, aku tidak bisa menikmati matahari terbenam karena langit berwarna hitam dan air turun dari sana. Tapi tidak seperti kemarin, kali ini langit mengeluarkan suara yang keras. Kilatannya … menakutkan. Aku mendekatkan tubuh ke kaca, tapi tubuhku masih saja terkena air hujan. Aku meringkuk sembari memperhatikan dua ekor tikus besar dan satu ekor tikus kecil berlari menerjang hujan bersama masuk ke celah samping rumah.

Duar!

Ibu, aku takut!

Lihat selengkapnya