Aku sungguh menikmati Bali, semuanya terasa begitu menyenangkan. Tapi yang terlihat hanya sisi terbaiknya saja dari para lokal. Turis mancanegara pun banyak tertipu dengan hal itu termasuk aku. Hingga suatu malam saat aku habis berpestaria di sebuah bar. Aku sangat mabuk malam itu sekitar pukul dua malam. Aku berjalan menuju hotelku yang aku sendiri tak ingat, hingga menyasar kesebuah gang sempit nan gelap. Lalu aku berpapasan dengan seorang yang sangat tinggi, kurus jangkung memakai jaket berhoddie hitam. Aku kira aku melihat hantu, sungguh selama berada di Indonesia begitu banyak cerita mistis tentang hantu-hantu berbaju putih, terbang, punggung berlubang atau meloncat-loncat. Lalu ada pula Genderuwo namanya, hantu berbadan besar dan tinggi, hitam seperti orang yang kulihat sekarang. Dalam posisi mabuk, melihat pria itu kukira dia hantu Genderuwo.
Dengan takut kulewati pria itu hingga dia menyetopiku, akupun spontan kabur digang gelap itu tanpa arah. Dia mengejarku. Ah bodohnya aku, ternyata dia preman pasar. Haha. Dia menodongkan pisaunya memaksaku memberikan dompet dengan bahasa Indonesia yang tak kupahami sama sekali. Dia menggunakan isyarat kepada orang mabuk sepertiku. Besoknya aku terbangun dalam keadaan telanjang, hanya menggunakan celana dalam saja. Semua pakaian, dompet, semua yang melekat pada tubuhku dirampasnya. Oh untung saja itu Bali, melihat turis pria hanya menggunakan celana dalam sepertinya pemandangan yang sudah lazim, aku pulang kehotel dan disarankan untuk mengadu ke kantor polisi. Tapi tak kulakukan, karena kupikir itu salahku berkeliaran tengah malam kondisi mabuk.
Keesokan malamnya, aku juga pergi ke bar-bar malam, tapi kali ini kutahan diriku dari posisi mabuk. Tengah malam aku pulang mencoba menghindari gang-gang gelap. Oh bodohnya aku, aku tersasar lagi.
Naomi tertawa mendengarku, dia cukup terkekeh. “Apa kau dirampok lagi, mam?”
Tentu saja, dan dia orang yang merampokku semalam. Tapi kali ini dia tak memakai jaket hoddie, jadi badan kurus tingginya benar-benar terlihat. Wajahnya kurus sekali hingga tulang rahangnya begitu mencolok terlihat. Dia menodongkan pisau tajamnya. Oh aku tak mabuk, aku tak takut sama sekali. Ketika melihatku mencoba melawan, kupukul dia dalam sekali pukul dan dia tersungkur. Yang kurasakan ketika memukulnya, pria itu sangat ringan. Sepertinya berat badannya habis tinggal tulang saja yang diselimuti kulit. Aku meninggalkan pria itu yang meringgis kesakitan, tapi aku tak tega jadinya. Kubantu dia berdiri. Saat kubantu dia menodongkan kembali pisaunya tepat dileherku. Oh malam itu aku kehilangan dompet lagi. Malangnya aku, kali ini semua kartu debit dan kreditku diambilnya.
Sekembalinya di hotel, manajer hotel menemaniku melaporkan hal itu kepada polisi. Tapi sepertinya mereka tak bisa berbuat banyak juga. Yang kulakukan selanjutnya hanya menelpon bankir-bankirku untuk memblokirnya.
Beberapa hari setelah itu, sehabis makan malam. Terjadi perkelahian dijalan pulangku, betapa terkejutnya aku ketika melihat kerumunan itu. Tiga orang memukuli pria kurus yang merampokku dua kali. Oh aku yang tak bisa melihat kekerasan spontan saja kabur dari sana. Tapi pria kurus itu melihatku dan malah mengejarku. Dia tersungkur dikakiku, meringgis kesakitan meminta tolong kepadaku. Bagaimana bisa aku menolong orang yang dua kali merampokku begitu. Dia meminta tolong kepadaku mengatakan bila tak ada yang menolongnya, dia akan dibunuh dalam tiga hari kedepan. Oh lucunya, dia menggunakan bahasa inggris.
Dia menangis, saat itu orang-orang melihatku. Jadi ketiga preman yang memukulinya jadi malah mengancamku untuk membayarkan sejumlah uang. Aku yang tak suka dengan ancaman, oh terima kasih pada Rashid. Semua berubah karenanya. Kuancam balik ketiganya, kubilang mereka tak tahu berurusan dengan siapa. Saat semua terlihat lebih runyam, polisi menghampiri tempat itu, mereka lari tunggang langgang.
“Kau melaporkan pria yang telah merampokmu dua kali ketika polisi datang, mam?”
Tidak. Bodohnya aku, aku justru merasa iba. Tak kulaporkan satupun. Ya ampun, pria itu bau sekali. Tak pernah kucium aroma busuk yang datang dari manusia seperti saat itu. Aku yang kasihan justru mengajaknya kekamar hotelku. Kusuruh dia mandi. Ya ampun, tiga kali aku suruh mengulanginya untuk mandi. Bau itu tak hilang sama sekali. Hingga kupanggil pelayanan spa dan treatment hotel untuk mengurus pria kurus itu. Dalam beberapa jam, barulah hilang bau busuk itu.
Setelah dalam keadaan bersih, kusuruh dia duduk lalu dia mulai menceritakan permasalahannya. Dia ternyata anak didik jaringan mafia narkotika disana, seorang pengedar narkoba. Aku rada tak percaya waktu dia menceritakannya. Ketika menjalankan penjualan, mengedarkan narkoba, dia kehilangan ‘aset’ mereka dalam jumlah besar. Pimpinan mafianya marah besar dan memukulinya habis-habisan dan disuruh menggantinya. Empat ratus juta rupiah, sekitar tiga puluh ribu US Dollar tempo itu. Jumlah yang sangat besar baginya yang seorang mengaku-yatim piatu.
Aku tak banyak omong selain mendengarkan, aku sebenarnya tak percaya ucapannya. Tapi saat itu dia mengembalikan kedua dompetku yang dirampok sebelumnya. Wah, hebat dia. Walau semua uangnya telah habis, namun semua kartu pentingku disana, terlebih kartu identitasku dan passport.
Lalu dia menangis, dan mulai menceritakan kehidupan masa kecilnya. Aku cukup terkejut ketika dia membuka kaos hitam yang dipakainya, sempat salah tingkah aku pada awalnya. Karena setelah bersih, pria itu cukup tampan jika diperhatikan seksama. Tapi tubuhnya penuh luka membuatku semakin iba. Terutama ketika dia menceritakan sebuah tulang yang rusuk yang bengkok kedalam tubuhnya. Aku meringgis.
Dia memiliki darah Latin, ayahnya seorang turis Argentina yang berlibur di Bali beberapa tahun lalu. Dalam liburannya, dia bertemu seorang wanita lokal lalu terjadilah sebuah hubungan badan diantara mereka. Sang ibu hamil, sedangkan sang ayah meninggalkan janin beserta ibunya di Bali, lalu pulang ke Argentina. Si ibu yang kecewa mengalami depresi berat, hingga mengalami kelahiran prematur diusia tujuh bulan. Sang ibu membesarkan anaknya hingga berusia dua tahun lalu meninggal dunia. Si anak kemudian diasuh bibinya, adik si ibu dengan enggan. Hingga usia lima tahun, sang bibi yang terjerat hutang, menjual si anak kepada salah satu bos mafia besar di Bali.
Si anakpun mengalami kekerasan hidup yang tiada tara, pukulan dan hantaman sudah biasa diterimanya. Semua bekas luka tubuhnya adalah pengalaman pahit yang harus dilaluinya, hingga dia menjadi remaja pengedar narkoba. Lalu suatu insiden terjadi yang membuat bos mafia marah hingga menikamnya dengan pisau yang dihangatkan. Aku meringgis mendengarkannya. Orang ini tak jauh berbeda denganku, malang. Hanya saja aku bisa bertemu Rashid, sedangkan dia tak ada penolong satupun.
Hingga sekarang dia menjadi anak buah mafia dengan mengedarkan narkoba. Beberapa minggu yang lalu, dia membuat kesepakatan dengan penjahat lainnya dan kehilangan berkilo-kilogram narkoba. Bos mafia marah besar dan meminta untuk mengganti rugi kesalahannya. Tentu saja dia tak punya uang, badannya bahkan kurus kering karena mengkonsumsi narkoba. Dia memohon-mohon kepadaku untuk membantunya, bahkan sampai mencium kakiku.
Aku yang terlanjur iba lantas menanyakan hal serius kepadanya. ‘Kau ingin berubah?’
Dia menjawab dengan tegas, ‘aku sudah lama ingin berhenti, tetapi keadaan tak memberikanku pilihan lain.’
‘Jika aku akan membantumu, aku perlu tahu komitmenmu.’
‘Aku siap meninggalkan semua ini.’ Aku kasihan sekaligus kagum dengan jawabannya. Lalu kujanjikan untuk membantunya membayarkan uang tersebut.