Hati Naomi masih merasa gundah dengan kejadian beberapa hari yang lalu, walau dia mencoba untuk tak terlalu memikirkannya. Dia sungguh ingin meminta maaf kepada Sebastian tentang pengkhianatannya, tapi pria itu benar-benar mengabaikannya sekarang. Air mata Naomi selalu mengalir deras jika memikirkannya, ini bukan salah Benjamin juga, ini seratus persen kesalahannya.
Dia berpikir juga, bagaimana jika ada keajaiban untuk mengulangi waktu apakah semua akan menjadi lebih baik? Sepertinya tidak, perasaannya kepada Benjamin tak akan hilang, lalu suatu waktupun Sebastian tetap akan mengetahuinya. Bukan itu yang ingin dia lakukan. Dia ingin Sebastian memaafkan dan menerimanya kembali, hanya itu.
Naomi berkeliling kastil pagi sekali, hawa dingin masih menusuk peluh hati. Berharap bahwa mengelilingi kastil megah ini bisa melegakan sedikit hatinya yang kacau. Tak terasa dia berjalan hingga kekamar Michele, terdengar sedikit keributan diantara mereka. Dari suaranya, itu Yaman, Hamdan dan Rashk sedang mendebat Michele, dia menguping.
“Kau terlalu tua untuk melakukan itu!” Rashk berkata, nadanya sedikit tinggi.
“Jangan naikan suaramu, aku tak menyukainya.” Michele menjawab, “aku ingin melakukannya, ini keinginan terakhirku sebelum mati.”
Naomi tercengang, bagaimana bisa Michele bicara seperti itu? Apa yang mereka debatkan?
“Jangan bicara begitu! Kau tahu apa artinya jika kau mati, kami tak bisa hidup lagi.” Suara tebal Mayan sedikit marah.
“Kalau begitu jangan larang aku, karena aku tetap akan melakukannya.” Michele cepat membalas.
Apa yang mereka bicarakan? Suara Michele terdengar begitu parau. Apa Michele merencanakan sesuatu? Naomi berpikir keras, seharusnya dia tak menguping pembicaraan mereka. Lalu mereka sedikit tenang.
"Apa yang ingin kau dengar?” Michele mengejutkan Naomi dari belakang.
“Oh, ah itu,….” Naomi berbata-bata, BAGAIMANA BISA DIA DIBELAKANGKU? JELAS-JELAS AKU MENDENGARNYA DARI BALIK RUANGAN ITU!?
“Kau ingin masuk dan ikut sarapan bersamaku nona?”
“Maafkan aku, aku tak sengaja menguping pembicaraan kalian,” Naomi meminta maaf ketika pintu kayu besar itu terbuka, Mayan dan Hamdan mengajaknya untuk masuk dan ikut minum teh. Naomi tak punya pilihan lain selain masuk dan ikut sarapan bersama mereka. “Bagaimana kau bisa dibelakangku, mam?”
“Aku memang dari awal dibelakangmu, nona.” Michele tertawa kecil, “sudah jangan dipikirkan.”
Naomi bingung, dia benar-benar yakin bahwa mendengar suara Michele dari balik pintu itu, telinganya belum tuli untuk tak dapat mengenali suara Michele. Naomi keheranan, pikirannya apakah sekacau itu gegara Sebastian? Sehingga dirinya menjadi begitu berhalusinasi? Mereka melewati sarapan pagi itu dengan Naomi yang sedikit canggung. Aku benar-benar yakin, sesuatu yang aneh! Tapi Michele terlihat kalem, seperti wanita tua biasanya, terlihat begitu lemah.
“Ayo berjalan bersamaku,” Michele meminta Naomi mengikutinya, Alvero mengiringi sekitar empat-lima meter dibelakang dan Hamdan. “Apakah kau masih belum merasa baikan atas kejadian seminggu lalu?”
“Aku tidak bisa melupakan Sebastian begitu saja, dia begitu membenciku pastinya sekarang.” Suara Naomi sangat sedih, Michele memegangi tangannya sambil berjalan melewati koridor besar nan panjang, lalu keluar duduk ditaman depan kastil.
“Sudah, jangan terlalu bersedih. Semua akan indah pada waktunya.” Michele berjalan, beberapa pelayan menunduk kepadanya, menghormati mereka. “Aku ada permintaan kepadamu secara khusus Naomi.”
“Iya mam? Apa itu?”
“Aku ingin kau selalu bersamaku mulai saat ini, kapanpun dan dimanapun.” Michele menatap mata Naomi, tanpa keraguan. Naomi sedikit tegang dilihat setajam itu.
“Ada apa memangnya mam?” Tanya Naomi serius.
“Bukan apa-apa, hanya saja aku mengkhawatirkanmu. Kau masih sangat terguncang.”
Naomi berpikir sejenak, tak ada salahnya mengikuti wanita ini, Michele sangat baik kepadanya selama ini. “Baiklah kalau begitu.”
“Apa kau berjanji kepadaku bahwa kau tidak akan kemanapun sendirian tanpa aku?” Michele menatapnya serius dua kali. Naomi salah tingkah dicerca pertanyaan yang terkesan aneh seperti itu.
“Baiklah mam.” Naomi menjawab pelan, “kalau begitu, ceritakan kepadaku lanjutan ceritamu. Jangan bilang kau masih memiliki suami lebih dari yang kau ceritakan!?”
Michele tertawa, “menurutmu bagaimana?”
Naomi melihat Michele, sepertinya cerita tentang suaminya masih berlanjut. “Baiklah mam, jangan main rahasiaan lagi denganku. Berapa jumlah suamimu sebenarnya?”
Michele mengamati langit pagi, memberikan isyarat kepada Alvero untuk menuangkan teh hijau panas. Lalu melihat Naomi, “aku punya dua puluh satu suami.”