Middle East

Eureika Kezia Sakudu
Chapter #5

Story of Old Tbilisi Wall

Saat berjalan-jalan di pusat kota Tbilisi, langkah kakinya berhenti di salah satu bundaran besar dengan satu bangunan gereja dan patung orang berkuda di tepian Sungai Kura. Ini adalah lokasi pertama tempat King Vakhtang mendirikan kerajaannya dan menjadikan Tbilisi sebagai ibukotanya. Jalan besar di sepanjang pinggiran sungai besar yang membelah Tbilisi itu dinamakan Vakhtang Gorgasali Street. Sebegitu cinta masyarakat Tbilisi padanya dan sebegitu besar penghargaan mereka terhadap sejarah. Saat berada di Jembatan Metekhi, Anas memandang sisa-sisa kebesaran sejarah Tbilisi. Ternyata Tbilisi negara yang sangat menghargai warisan budaya.

Di balik pesatnya bangunan modern, kota ini ternyata tidak lupa menyisakan satu lokasi yang mampu menjadi jembatan negeri modern dengan sisa-sisa kejayaan peradaban masa dulu. Lewat Jembatan Metekhi yang persis berada di bawah Metekhi Church dan Monumen Vakhtang Gorgasali, dapat terlihat kemegahannya. Dinding dari sebuah peradaban yang tumbuh di lereng bukit di depan Sungai Kura. Rumah-rumah tradisional Tbilisi bersusun di lereng bukit ini.

“Hemmm…kota yang menarik. Aku suka tempat ini, terimakasih Monna” ucap Anas seraya melirik Monna yang berada di sampingnya. Monna adalah seorang teman pena yang sudah lama di miliki oleh Anas. Monna sendiri adalah gadis asal Georgia, ibunya orang Jepang sedangkan ayahnya asli Georgia, Monna belajar bahasa Indonesia dari Anas dan sekarang bekerja part time menjadi tour guide untuk turis dari Indonesia.

Namun kali ini Anas mendapat pelayanan special dari Monna, mereka hanya berkeliling berdua dengan motor vespa milik Monna. Sudah dua hari Anas sampai di Negara Georgia, dan baru saja bisa keluar meninggalkan hotel hari ini. Cuaca cerah mendukung perjalanan kedua wanita ini, entah mengapa Monna adalah satu-satunya manusia yang bisa di ajak bicara dengan santai oleh Anas. Monna mempunyai tubuh tinggi semampai, dan postur tubuh bak model, di tambah rambut hitam bergelombang yang ia milik, serta mata sipit, hidung mancung lalu bibir bervolume, membuat Anas sebagai seorang wanita pun ikut terpanah dengan kecantikan sahabat penanya ini.

“Anas, bagaimana perjalananu sebelum sampai ke sini?” tanya Monna sambil memelankan motor vespa yang ia kendarai.

“Ehhmm…sangat menyenangkan. Tapi sepertinya akan lebih menyenangkan saat di sini” ucap Anas dengan suara yang sedikit nyaring, karena angin membawa pergi sebagian volume suaranya ketika berada di atas motor yang melaju.Selepas melewati jembatan Metekhi, menyeberangi Sungai Kura, jalan mulai menanjak. Dua wanita itu melewati beberapa pertokoan, kafe, dan hotel bergaya tradisional Georgia. Perlahan-lahan keramaian memudar ketika kami terus berjalan mendaki. Kami memasuki komplek rumah-rumah tradisional Georgia. Kondisinya masih sangat bagus dan terawat. Rumah-rumahnya banyak terdiri dari rumah panggung, mirip dengan gaya rumah tradisional kita. Bedanya, rumah-rumah mereka dibuat lebih banyak lorong dan atapnya lebih rendah untuk menangkal angin musim dingin masuk.

Ada rumah yang masih dihuni, ada rumah yang disewakan sebagai hostel atau guesthouse, ada yang dijadikan toko wine, kafe, dan semacamnya. Anas dan Monna memutuskan untuk menitipkan motor yang mereka gunakan di salah satu rumah warga lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki.

“Anas, ceritakan padaku kisah liburanmu ?” pinta Monna dengan senyum manis.“Tidak ada yang special, layaknya turis yang berkunjung di suatu tempat”

Lihat selengkapnya