Motor metic berwarna merah melaju dengan kecepatan sedang. Membelah jalanan yang diselimuti kabut tipis. Sinar mentari malu-malu mengintip di balik Bukit Barisan. Hawa dingin menusuk tulang, gigi Kirana gemerutuk karenanya. Jalan yang berkelok membuat gadis itu berhati-hati mengemudikannya. Apalagi ini adalah perjalanan pertama, ia belum mengenal medan dengan sempurna. Beruntung, jalan yang dilalui semuanya sudah beraspal, hanya ada beberapa lubang di sana-sini.
Canda dan tawa riang mewarnai perjalanan mereka. Di jok belakang, Chika nyaris kering giginya karena tak berhenti terbahak. Ada saja kejadian yang membuat dua sahabat baru itu geli, salah satunya kawanan monyet di atas jembatan yang bergelantungan.
“Awas, Kak!” jerit Chika nyaring. Ia remas kuat bahu Kirana saking takutnya.
Gadis itu terpaksa menghentikan sejenak kendaraannya karena seekor ular berukuran sedang jatuh dari dahan. Ia membiarkan reptil itu menyeberang jalan terlebih dahulu, kemudian kembali melaju dengan gembira.
***
Mengenakan seragam berwarna kuning kakhi, barisan CPNS baru berdiri tegap. Dengan antusias mendengar instruksi dari walikota setelah upacara pelantikan selesai. Berkarir sebagai PNS mungkin tak penting bagi sebagian orang. Akan tetapi bagi Bidan Candra Kirana, profesi ini adalah mimpi kedua setelah gagal menjadi KOWAD. Mengabdikan diri pada negri, melanjutkan perjuangan Papa tercinta. Terkesan terlalu idealis mungkin, tetapi begitulah adanya.
Selama satu minggu, CPNS dari formasi kesehatan diberikan pembekalan di kantor Dinas Kesehatan sebelum benar-benar terjun ke lapangan.
“Kak Na, sudah tau tempat tugas kita posisinya di mana?”
Chika Salsabila. Seorang perawat gigi, fresh graduated dari Poltekkes ternama di Sumatra Barat. Usianya dua tahun di bawah Kirana.
“Belum Chik. Kamu gimana Mit, sudah tau?”
Gadis berkaca mata itu hanya mengangkat bahu merespon pertanyaan rekan barunya. Dia Mita, seorang asisten apoteker. Mereka bertiga mendapat tempat tugas yang sama.
“Ayo kita tanya ke kakak itu,” ajak sang bidan muda kemudian.
Mereka menghampiri seorang lelaki berseragam warna senada dengan pangkat balok emas dua di pundak.
“Maaf, Kak. Boleh numpang nanya. Puskesmas Tangsi itu di mana ya?” tanya Kirana sopan.
“Ooh, itu puskesmas paling ujung dekat perbatasan, jaraknya dua puluh empat kilometer dari sini. Butuh waktu setengah jam untuk menuju ke sana. Puskesmasnya ada di pinggir jalan. Tak sulit menemukannya. Saran Kakak, kalian jangan pergi sendiri-sendiri, jalannya masih rawan,” jelas pria itu kemudian.
Mereka bertiga saling berpandangan heran. Mata Mita nyaris melompat keluar. Chika cekikikan geli. Ternyata jauh sekali tempatnya dari pusat kota.
“Semangat, Girls!” sulut Kirana sembari mengangkat lengan kanannya. Kedua rekannya menyambut dengan binar semringah.
Hari ini perjalanan pertama mereka. Melewati jalan berliku, dengan sisi kanan dan kiri jurang. Situasi mulai tak kondusif ketika di depan mereka mobil truk bermuatan ayam potong yang aromanya, yah, begitulah.
Kirana tancap gas, ngebut dan berusaha menyalip. Pengemudi truk tak mau kalah, seolah mengajak adu kecepatan. Ketika gadis itu mengambil sisi jalan sebelah kanan bersiap untuk mandahului dengan kecepatan maksimal, si sopir malah menambah kecepatannya.
“Kurang ajar!” umpat Kirana geram.