“Will you marry me, My Midwife?”
Pertanyaan mengejutkan itu menggema di setiap dinding hati Kirana. Ingin rasanya mulut gadis 23 tahun itu berteriak sambil melonjak kegirangan. Tak disangka, pria yang selama ini ia kagumi dalam diam ternyata memiliki perasaan yang sama. Cintanya berbalas.
Iqbal—pria gagah berbadan tinggi atletis. Senyumnya yang kharismastik telah menawan hati dara manis itu entah sejak kapan. Sedari kanak-kanak mereka bertetangga, bahkan selalu satu kelas dari SD sampai tamat SMA. Lima tahun terakhir jarak memisahkan, pria gagah itu menjalani pendidikan AKMIL di Magelang sedangkan Kirana mewujudkan mimpi mamanya—menjadi seorang bidan.
Selepas SMA pertemuan dua sahabat itu mulai jarang. Akan tetapi surat, email, telepon, chat dan video call lewat aplikasi hijau tak pernah absen. Setelah empat tahun menempuh pendidikan, Iqbal ditugaskan di Indonesia Timur. Kiriman foto-foto berbalut baju loreng nan gagah saat dia bertugas semakin memupuk rasa kagum Kirana kepadanya. Bayangan tentang resepsi pernikahan yang megah, melewati prosesi pedang pora yang sakral dan penuh makna berkelebat dalam angan putri sulung almarhum Kapten Haryanto itu.
Suasana Lebaran membuat momen lamaran tak terduga itu terasa begitu indah. Menikah tanpa pacaran. Hanya saling mengagumi dalam diam. Rajutan cinta kelak akan dipupuk dengan halal, betapa indahnya. Hati yang terlalu berbunga, mendaratkan senyum simpul yang malu-malu mau. Bibir tipis itu bersiap meneriakkan jawabannya.
“Pas enggak kalau aku ngomong gitu ke Reva?” tanya pria berbadan kekar itu kemudian.
“Hah?!” reflek Kirana tersentak, bagai tersengat aliran listrik seribu watt. Kuntum yang baru saja mekar di hatinya mendadak layu, bahkan terbakar.
“Kira-kira kalau jadi Reva kamu akan jawab gimana, Na?”
Senyum dengan sangat terpaksa ia terbitkan meskipun hati mengkerut diserang kekecewaan.
“Ka-kamu udah lama dekat dengan Reva?”
“Memangnya Reva nggak pernah cerita sama kamu?”
Kirana menggeleng pelan. Ada sesuatu yang mendadak lenyap dari relung hatinya yang paling dalam.
“Aneh. Padahal Reva selalu antusias menceritakan tentangmu!”
“Pernah sih, Reva cerita kalau dia LDR-an sama seorang perwira, ternyata itu kamu?”
Jiwa yang koyak ia manufer cepat agar segera stabil, bahkan tersenyum kocak, pura-pura ikut bahagia. Bibir tebal milik Iqbal mengembang, deretan gigi putih menambah manis senyumnya.
“Na, sebenarnya kami sudah deket dari kelas tiga SMA,” jelas pria itu kemudian.
“Kami sukses dong menyembunyikan hubungan dari kalian semua. Ha ha ha!”
Iqbal tertawa renyah, terdengar seperti pecahan beling yang menusuk gendang telinga dara manis itu.