Sebuah APV putih berplat merah bertuliskan ‘Puskesmas Keliling’ memasuki halaman. Tak lama kemudian turun seorang wanita paruh baya berbaju PDH.
“Assalamualaikum!” sapanya ramah. Geng Hatori menjawab bersamaan.
“Kalian CPNS baru?” tanya perempuan sepuh itu kemudian.
“Iya, Bu.”
“Ayok masuk ke ruangan Ibu,” ajaknya. Mereka bertiga duduk di kursi jati.
“Saya Idawati, Kepala Puskesmas Tangsi. Sebelumnya ibu ucapkan selamat datang di Puskesmas ini. Yah, beginilah keadaannya. Mengkhawatirkan, bukan?”
Mereka bertiga tersenyum terpaksa. Beruntung Chika lihai mengontrol sikapnya saat berhadapan dengan atasan.
“Sekarang coba perkenalkan diri kalian, nama, asal, formasi, dan tinggal di mana.”
Satu persatu CPNS memperkenalkan diri. Dengan antusias Ibu Idawati menyimak penuturan staf barunya.
“Okey. Untuk masalah penempatan sudah jelas ya, sesuai formasi kalian. Chika di Poli Gigi, Mita di pelayanan obat, kemudian Kirana. Mmm ... kamu bidan ya?”
“Iya, Bu.”
“Kamu bertugas di Ruang Kesehatan Ibu dan Anak. Silahkan kalian menuju ruangan masing-masing dan bersosialisasi dengan teman sejawat. Nanti Novi akan membuatkan kalian surat tugas. Oh iya, jam sepuluh kita berkumpul untuk rapat rutin bulanan, sekalian mengenalkan kalian pada karyawan yang lain.”
Geng Hatori undur diri, kemudian mencari bagian masing-masing. Kirana melangkah ke ruangan yang terletak paling ujung. Ukurannya lebih besar dari yang lain. Terdapat satu meja ginekologi—tempat tidur yang bisa dibongkar pasang, dilengkapi dengan penahan kaki, tangga dan tiang selang infus yang berfungsi untuk pemeriksaan kehamilan, pemasangan alat kontrasepsi, atau keperluan lain yang berkaitan dengan obgyn.
Di pinggir ruangan sebuah meja yang diatasnya terdapat timbangan bayi. Kantong persalinan yang tertempel di dinding tampak berdebu dan sobek sana sini. Sebuah lemari kaca berdiri dengan isinya yang asal tumpuk tak beraturan. Tensimeter dan stetoskop tergeletak di atas meja. Tak jauh dari sana duduk seorang perempuan paruh baya mengenakan seragam warna kuning khaki.
“Assalamualaikum,“ sapa Kirana ramah.
Wanita berumur sekitar lima puluh tahun itu menjawab salamnya dingin. Ia menatap sang bidan muda dari ujung kepala sampai ke kaki dengan sangar. Mulut kecilnya mengerucut. Membuat jantung gadis 23 tahun itu bagai ditengah lomba lari, berdetak tak karuan.
“Pegawai baru?” tanyanya kemudian. Dara manis itu mengangguk gugup.
“Duduk sini. Namaku Trianah. Aku bidan senior di sini,” ujarnya lagi.
“Saya Kirana, Bu,” ucap dara manis itu seraya mengulurkan tangan yang disambut sekilas oleh bidan senior itu.
“CPNS?”
Gadis itu kembali mengangguk sambil tersenyum.
“Habis berapa nyogoknya?” Bidan Trianah bertanya dengan sinisnya.
"Astagfirullahaladzim! Enak aja orang ini. Aku belajar dan berdoa mati-matian untuk bisa lolos seleksi. Kok dibilang nyogok." Hati Kirana memberontak.