Liana—perawat senior—bersama beberapa pegawai sibuk lalu lalang. Tangan mereka menjinjing box berisi vaksin yang akan diberikan kepada siswa SD. Ya, bulan ini adalah jadwal BIAS (Bulan Imunisasi Anak Sekolah). Setelah Geng Hatori menganalisa, Puskesmas Tangsi hanya ramai jika ada event tertentu, yang ada uangnya tentunya. Jika hari biasa, staf yang datang hanya bisa dihitung dnegan sebelah jari.
Kirana dan Chika duduk di ruang gigi, saling berpandangan heran. Tak ada satu pun yang memedulikan mereka. Berbulan-bulan mereka bertugas di Puskesmas Tangsi, tetapi belum pernah dilibatkan dalam kegiatan.
“Bosen, ya, Dek. Gini terus,” keluh Kirana lesu.
“Padahal ingin sekali ikut terjun ke lapangan. Seperti waktu kuliah dulu. Praktek di Puskesmas Godean, kami diajak posyandu, penyuluhan, kunjungan pasien,” lanjut gadis berpipi cabi itu seraya memainkan ujung pena.
“Yaa ...,” sahut Chika tak kalah lesu.
“Anak gigi juga ada tugasnya juga ke masyarakat, Kak. Ke sekolah, ngajarin sikat gigi yang benar, seru deh. Tapi di sini, kok ... hmmh,” lanjutnya seraya menghela napas berat. Gadis minang yang biasanya ceria kali ini tertunduk murung.
Hari-hari yang dilalui Geng Hatori terasa membosankan. Pagi mereka datang, duduk, buka bekal, ngobrol, kemudian pulang. Pasien yang datang hanya do, re, mi. Ketika ada proyek kegiatan di luar gedung, tak pernah diajak.
“Terkadang malu loh, dengan Yuk War, yang hanya tamat SMP. Gajinya yang tak seberapa itu pun dibayarkan per tiga bulan sekali. Tapi dia selalu datang dan pulang tepat waktu. Mengerjakan tugasnya dengan baik, menjaga puskesmas tetap bersih dan rapi. Sedangkan kita? Sudah sah menjadi pegawai negri, bertitel sarjana, berpangkat, berpenghasilan tetap, tapi kok malah malas-malasan.”
Panjang lebar Kirana memuntahkan resah hatinya. Nuraninya menolak. Kondisi ini tak sesuai dengan idealisme dan cita-citanya. Banyak sekali sebenarnya yang ingin diperbuat bidan muda itu di tempat ini. Akan tetapi ia bingung harus dari mana memulainya? Benangnya terlalu kusut untuk diuraikan. Ditambah ia tak punya cukup ilmu, pengalaman, koneksi, apalagi akses dan tak punya power untuk mengajak pegawai Puskesmas Tangsi untuk berubah ke arah yang lebih baik.
Chika selalu setia di jok belakang si Mety. Gadis minang itu tak bisa mengendarai motor. Jika bukan Kirana yang mengajaknya, ia tak akan sampai di puskesmas. Mereka tetap berangkat jam tujuh pagi, meskipun waktu pulang sudah berani korupsi. Terseret arus, bergegas meninggalkan bangunan bercat orange itu sesaat setelah azan Zuhur. Mita lebih parah, dengan santainya ia jalan-jalan ke Singapura. Menonton konser BTS kesayangannya tanpa pimpinan tahu. Dasar sableng!
***
“Kirana! Tolong ambil sendok di dapur dan balut dengan kassa!” teriak Angga seraya membuka kamar tindakan. Letaknya berseberangan dengan ruang KIA.
Suasana puskesmas yang lengang mendadak heboh. Seorang ibu berlari membawa anaknya yang tak sadarkan diri. Kirana berdiri mematung, masih bingung dengan keadaan. Ini pengalaman pertamanya.
“Kirana, cepat!” bentak lelaki berbadan tegap itu lagi.
“Iya, Kak!”
Gadis semampai itu segera berlari. Kurang dari satu menit ia sudah kembali.
“Ini, Kak!” ucapnya sambil menyodorkan benda itu.
“Tahan lidahnya supaya tak tergigit!” jawab Angga dengan nada bicara yang agak meninggi, seraya memasang kanul oksigen ke hidung pasien.
Kirana baru mengerti fungsi sendok itu. "Seharusnya ada tongue spatel, tapi dimana?" tanyanya dalam hati. Ia lalu meraba kening anak itu.
"Ya Allah, panas banget. Di mana termometer-nya?" tanyanya kemudian.
"Carilah di lemari!" sahut lelaki kekar yang sedang fokus mendengar bunyi jantung pasien menggunakan stetoskop.
Kirana telah berusaha mencari benda pengukur suhu itu, tetapi tak juga ketemu. Ia lantas melonggarkan pakaian dan kain yang membalut pasien, agar sirkuasi udara lebih lancar.
“Tolong anak saya, Bu Bidan!” teriak ibu itu.
Pasien kejang, matanya menghadap ke atas, tangan dan kakinya kaku. Rahangnya mengeras, giginya mengatup kuat. Untung sudah diganjal dengan sendok.
“Na, tolong cari Diazepam! Kalau tidak ada minta dengan Mita!” perintah lelaki necis itu lagi.
Lemari obat emergency-nya berantakan sekali, bidan muda itu kesulitan menemukan benda kecil yang dimaksud. Lalu ia berlari ke ruang obat.
“Mita, ada Diazepam nggak? Pasien kejang!”
Dengan sigap si gadis berkaca mata memberikan apa yang diminta. Kirana segera memindahkan isi ampul ke dalam spuit dan menyerahkannya kepada Angga.