Semenjak Pak Derry memimpin, perlahan mulai ada perubahan di Puskesmas Tangsi. Terutama kesempatan pegawai untuk berkembang. Tugas kegiatan luar gedung dibagi rata. Jika ada undangan pelatihan atau seminar pun ditunjuk staf yang kompeten di bidangnya untuk menghadiri.
Tak seperti dulu. Hanya pegawai yang bernama Liana yang terus-terusan pergi pelatihan. Sampai akhirnya dia menjadi penanggung jawab 5 program sekaligus. Surveilen, Juru Imunisasi, Program Penyakit Tidak Menular, Lansia, dan Kesehatan Jiwa. Namun, ilmu yang didapat tak pernah dibagi apalagi diterapkan. Wajar saja kalau puskesmasnya jalan di tempat.
Siang yang lengang bertambah sepi tanpa kehadiran Mita. Selama tiga hari gadis itu diutus Pak Derry untuk mengikuti pertemuan di Dinas Kesehatan. Kirana dan Chika sedang asyik dengan ponsel masing-masing. Tiba-tiba suara gebrakan meja mengejutkan mereka.
“Hey, Kalian! Katakan sama temanmu yang sok kaya itu, ya! Kutunggu dia bersujud di kakiku untuk meminta maaf!”
Muka Angga merah padam. Dada bidangnya naik turun karena emosi. Tatap matanya tajam seperti sinar laser yang langsung tembus hati Kirana. Gadis itu sontak gugup dibuatnya.
“Sebenarnya ada apa Kak Angga?” tanyanya bingung.
“Kurang ajar sekali temanmu itu, enak saja menuduh aku ACDC! Memangnya dia punya bukti?!”
"Apa maksudnya?" Chika tak kalah heran.
Mereka berdua saling berpandangan sebelum mengangkat bahu.
“Kalian nggak usah pura-pura nggak tau! Dasar anak baru ngesok!” umpatnya lagi sebelum meninggalkan ruang KIA.
Kirana menarik napas berat kemudian melepasnya perlahan. Setelah agak tenang, ia mencari nomor Mita lalu menekan panel hijau.
“Mit, itu si Angga marah-marah, katanya suruh kamu sujud di kakinya!” lapornya setelah sambungan telepon terhubung.
"Hah, kenapa memangnya?" Suara Mita tak kalah bingung.
“Katanya kamu ngomongin dia ACDC!”
"Apaan tuh ACDC?"
“Tauk!”
***
Pagi yang cerah, tak seceria wajah maskulin Angga. Ia berdiri tegap di depan pintu. Kedua tangan kekarnya ia sedekapkan di depan dada. Matanya tajam menatap Geng Hatori yang baru saja tiba di Puskesmas Tangsi.
“Heh, anak kecil yang baru bisa pake sepatu! Sujud di kakiku atau kumeja hijaukan!” serunya seraya menunjuk muka Mita. Chika berpegangan kuat pada lengan Kirana, ketakutan.
Gadis berkaca mata itu sedikit terkejut, tetapi tak lama. Cepat ia menguasai dirinya dan menatap Angga dengan berani. “Kamu ini kenapa? Pagi-pagi udah bikin bete!” jawabnya lantang. Kakinya memainkan ujung sneakers warna biru yang ia kenakan. Gaya gadis ini memang lain daripada yang lain.
“Jangan berkelit! Apa maksudmu mengatakan kata-kata tak pantas itu kepadaku?”
“Kata-kata apa?”
Tangan kekar itu menarik paksa lengan Mita dan membawanya ke sebuah ruangan. Kirana dan Chika menguping dari balik pintu. Beberapa staf yang lain mengikuti mereka.
“Lepas!” sentak Mita seraya mengayun lengannya. Namun, cengkeraman Angga begitu kuat.
“Aku tak akan lepaskan sebelum kau bersujud di kakiku!” Mata lelaki itu melebar, napasnya memburu dikuasai emosi.
“Enak saja! Gara-gara ACDC? Suer aku nggak ngerti apa itu. Mendengarnya saja baru sekali. Terus, apa dasarmu menuduhku?!”
“Widya yang bilang kemarin, kau ngaku sajalah! Nggak usah berbelit-belit! Memang aku punya masalah apa denganmu, hah? Berani-beraninya kau mengusik hidupku!”