Rapat minggu ini Dokter Andi menanyakan hasil pengajuan dari masing-masing ruang dan program. Lelaki itu dengan teliti menganalisa.
“Mita, tolong bikin rekapnya. Jadikan satu dalam dokumen perencanaan.”
“Kirana, gimana? Udah siap data tabulasinya? Masalah yang menonjol apa?”
Kirana menyerahkan print out data Survey Mawas Diri yang telah dilaksanakan bulan kemarin. Dengan seksama mata sipit itu memindai hasil kerjanya bersama tim.
“Okey. Buat presentasinya untuk ditampilkan di rapat lintas sektoral nanti.”
“Siap, Dok.”
“Chika, untuk pengajuan peralatan ruanganmu, sudah saya ajukan ke Dinas Kesehatan. Bagaimana dengan kegiatan UKGS, ada kendala?” Pak Derry urun bertanya.
“Terima kasih, Pak. Semoga kita segera mendapat peralatan baru. Untuk kegiatan ke sekolah, sementara ini kita masih kekurangan alat peraga. Minimal ada poster untuk media penyuluhan,” jawab si hitam manis serius tanpa tawa diujung kalimatnya.
“Hmm, begini saja Chik. Silakan kamu desain posternya seperti apa, nanti akan saya kirim ke percetakan.” Pak Derry selalu punya solusi.
“Oh iya, Na. Bikin ceklis untuk memantau kelengkapan laporan bulanan. Laporkan pada saya jika masih ada pengelola program yang mangkir untuk mengumpulkannya tepat waktu. Angga, nanti setelah undangan yang dibuat Mita selesai, kamu temani saya koordinasi dengan camat, dan bantu menyebarkannya,” lanjut pria 49 tahun itu.
“Baik, Pak. Siapa saja yang akan kita undang dalam pertemuan ini?” tanya Angga antusias.
“Daftar undangannya sudah ada dengan Mita.”
Tiada hari berlalu tanpa rapat. Pagi rapat, siang ke lapangan dan pelayanan, sebelum pulang kembali rapat evaluasi kegiatan. Buku kerja mereka penuh dengan coretan bermakna, tak lagi hanya berisi datang, makan, ngobrol dan pulang.
Sore itu, Kirana merebahkan badan di atas kasur. Kesibukan yang begitu padat membuat badannya terasa remuk. Ia pandangi deretan novel di rak buku miliknya. Hatinya tergerak mengambil ‘Lupus’. Berharap kisah kocak karya Hilman Hariwijaya itu bisa mengusir penatnya, meskipun sudah berulang kali dibaca. Saat akan membuka lembarannya, sesuatu jatuh dari sana. Foto Iqbal.
Cepat kirana meraih gambar itu, kemudian menyobeknya menjadi potongan kecil-kecil.
“Siapa dia? Aku enggak kenal lagi,” ucapnya mantap sebelum hanyut dalam kisah kocak yang dibaca.
***
“Sekarang gajiku rasanya halalan thayyiban, Na,” ucap Mita disela kesibukannya mengetik undangan.
“Maksudnya?” sambar Chika.
“Iya, selama ini aku kerja santai-santai, berasa dosa makan gajinya. Kalau sekarang betul-betul bekerja peras keringat dari pagi sampe sore. Kadang di rumah masih lembur juga, apa nggak halalan thayyiban tuh!” Kirana tergelak mendengar seloroh gadis batak berkaca mata itu.
“Alhamdulillah, si sableng udah tobat. Semenjak deket Dokter Andi tuh ...,” godanya kemudian.
“Omegot! Apaan sih, Na! Jail banget, deh!”
“Cie ... cie ... cie, Kak Mita mukanya .... Terserang virus merah jambu, ha ha ha!”
Chika semakin puas menggoda melihat pipi Mita bak kepiting rebus.
“Gimana perkembangan kegiatan kita?”
Tiba-tiba saja Pak Boss sudah datang dengan sepiring pisang goreng di tangan.
“Nih, sambil dimakan. Tadi Warsini menebang pisang di belakang, terus yang sudah masak digoreng. Lumayan bisa untuk ganjel perut. Mau pulang jauh,” tawarnya ramah.
“Terima kasih, Pak,” jawab Geng Hatori sopan.