Kirana mengetuk pelan pintu ruang Pak Derry.
“Masuk!” sahut Kepala Puskesmas dari dalam.
“Bapak memanggil saya?” tanya gadis itu sopan setelah berada di seberang meja atasannya.
“Duduk, Na!”
Pak Derry beranjak dari tempat duduknya dan berpindah ke kursi jati. Kirana mengambil tempat tak jauh dari boss-nya.
“Begini, Na. Astuti, bidan desa yang tinggal di Pustu Desa Kemiling berpindah tugas. Dia mengikuti suaminya yang berprofesi sebagai tentara,” jelasnya membuka percakapan. Mendengar kata tentara hatinya berdesir aneh.
“Jadi, pustu kosong. Maksud saya, bagaimana kalau kamu saja yang tinggal di sana menggantikan Astuti. Sayang kalau desa itu dibiarkan terbengkalai. Kita sudah susah payah membangunnya.”
“O ... ow. Ini kabar baik atau kabar buruk? Harus senang atau malah sedih?” Batin Kirana dilanda kebimbangan. “Sepertinya saya belum siap, Pak,”ungkapnya kemudian.
“Na, pengabdian tidak menunggu kata siap. Menurut saya kamu mampu untuk menjalankan amanat ini. Lagi pula kamu indekos di kota, kan?”
Dara manis itu mengangguk.
“Nah, kalau tinggal di pustu, kamu nggak perlu indekos lagi. Uangnya bisa untuk beli bedak sama lipstik!” Pak Derry berseloroh, Kirana terkekeh karenanya.
“Gimana? Pikirkan ‘deh kegiatan yang sudah kamu bangun di sana. Kalau tidak ada orang yang meng-handle, bisa-bisa kembali vakum. Susah nanti membangunnya lagi. Kalau kamu mau, sama seperti bidan desa lainnya. Kamu nggak perlu setiap hari datang ke puskesmas. Cukup dua kali seminggu atau kalau ada pertemuan penting saja, bagaimana?”
Sang bidan muda merenung. Menimbang baik buruk keputusan yang akan diambil. Tinggal di desa pelosok, tanpa sambungan internet. “Apakah aku akan sanggup?”
“Na.” Suara Pak Boss memecah lamunannya.
“Seseorang yang berhasil itu, tidak akan stag di satu tempat untuk waktu yang lama. Dia akan dinamis menuruti ke mana pun tantangan membawanya. Kalau tidak berani menantang diri untuk melakukan hal yang baru, kita tidak akan punya pengalaman yang berbeda. Sedangkan pengalaman itu adalah guru terbaik, karena dia memberikan pelajaran yang tidak diberikan di sekolah mana pun.”
Kirana menarik napas berat. Nasehat dari Pak Derry menghentak-hentak dadanya. Teringat akan janji pada dirinya sendiri. Mengikuti ke mana pun Ibu Pertiwi memanggilnya.
“Bissmillah, saya bersedia, Pak,” ucap Kirana mantap. Pak Derry tersenyum lepas kemudian menjabat tangan dara manis itu erat.
***
Lembaran lain kehidupan Kirana kembali dibuka. Ia menetap di Puskesmas Pembantu Desa Kemiling. Salah satu desa di wilayah kerja Puskesmas Tangsi. Letaknya sekitar sepuluh kilometer dari Kecamatan Tangsi. Beruntung pembangunan akses di kota ini merata. Jalan sudah beraspal sampai desa paling ujung yang berbatasan langsung dengan Bukit Barisan. Listrik telah tersedia, persediaan air juga berlimpah. Hanya internet yang belum tersedia di sana.
Menuju desa itu melewati simpangan tak jauh dari lokasi kalangan. Terus masuk ke dalam mengelilingi bukit. Pemandangan yang ada hanya kebun kopi di kiri dan kanan jalan. Tak menyangka kalau di dalamnya terdapat perkampungan yang lumayan padat. Mayoritas penduduknya bertani dan berkebun. Saat masa panen kopi yang hanya setahun sekali mereka sibuk di kebun. Hari biasa waktu mereka digunakan untuk menggarap sawah yang ditanami padi dan sayur mayur.
Benar kata Pak Derry. Tinggal di sana selain tak perlu mengeluarkan uang untuk bayar sewa, Kirana hampir tak pernah membeli beras dan sayuran. Warga sekitar dengan senang hati berbagi sedikit hasil panen mereka. Gadis itu merasa betah, meskipun sepi dan jauh dari mana-mana. Warga Desa kemiling hangat dan akrab, ia serasa memiliki keluarga kedua.
Setiap tanggal 8 Jadwal Posyandu di Pustu Kemiling. Angga selalu berkunjung ke sana. Ia menggantikan posisi Liana sebagai Juru Imunisasi. Tugasnya memastikan vaksin untuk posyandu balita sampai ke pustu dengan selamat.
“Hari Kamis nanti kamu piket nggak, Na?” tanyanya setelah kegiatan selesai.
“Insyaallah piket, Kak.”
“Kamu ada waktu nggak?” tanya pria necis itu lagi.
“Memangnya kenapa, Kak?”
“Mau enggak temani aku ke kota. Ada beberapa keperluan yang harus dibeli.”
“Wah, ke kota? Semenjak tinggal di Pustu aku jarang pergi ke sana.”
Kirana antusias sekali mendengar ajakan lelaki gemulai itu.
“Mm ... boleh. Aku juga ada sesuatu yang harus dibeli,”lanjut gadis itu semangat.
Persediaan skincare-nya sudah menipis. Ia juga ingin membeli beberapa keperluan dapur. Tinggal di Pustu membuatnya banyak waktu untuk bereksperimen resep baru. Yah, memasak adalah salah satu hobi sang bidan muda.
“Oke, sampai ketemu hari Kamis ya!” pamit Angga sebelum berlalu dengan MegaPro berplat merah. Kirana tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahnya. Mungkin sudah saatnya ia membuka hati untuk orang lain.
***