Siang itu, datang seorang ibu dengan balitanya yang berumur dua tahun. Kirana hanya piket sendirian di Ruang KIA. Bidan Trianah izin pulang sebentar karena ada pasien melahirkan di rumahnya. Ya, beliau memang bidan ternama di Kecamatan Tangsi. Mulutnya saja yang terkesan ‘aduhai’, tapi sebenarnya orangnya baik. Beliau juga tak sungkan untuk mengajari sesuatu yang belum dipahami juniornya. Silviana sedang ke lapangan membina kegiatan ‘Kelas Ibu’ di Balai Desa.
Setelah melakukan pemeriksaan fisik dan menggali data subyektif dari ibu pasien, Kirana menyimpulkan balita tersebut terserang diare akut. Ia tak yakin memberikan resep obatnya. Bidan muda itu memutuskan untuk konsultasi ke Dokter Andi.
Ruang Pemeriksaan umum pasiennya tak kalah banyak. Masih ada beberapa yang mengantri belum dilayani. Dokter Andi memang sangat teliti memeriksa setiap pasien. Dari ujung kepala sampai ke ujung kaki tak luput dari pindaian mata sipitnya. Belum lagi konsultasi yang diberikan, satu pasien bisa menghabiskan waktu lebih dari lima belas menit. Kirana memberanikan diri mendekat ke mejanya.
“Permisi, Dok. Mau konsul,” ucapnya sopan.
“Nanti dulu ya, Na. Sebentar lagi saya ke Ruang KIA,” jawabnya sambil mencatat sesuatu di lembar Rekam Medis. Gadis itu menurut, kembali menunggu dengan setia.
Lima belas menit berlalu, balita mulai rewel. Kirana kembali mendekati Dokter Andi. Belum sempat membuka suara, ternyata pria oriental itu sudah paham.
“Silakan langsung dilayani saja kalau pasiennya sudah gelisah,” ucapnya. Mungkin pria bermata sipit itu mendengar tangisan balita dari ruang KIA.
“Baik, Dok.”
Kirana memeberikan resep obat yang biasanya diberikan oleh senior. Beberapa menit kemudian, Dokter Andi masuk ke ruangannya.
“Bagaimana pasien tadi, sudah?”
“Sudah, Dok.”
“Coba lihat mana rekam medisnya,”
Kirana menyerahkan apa yang diminta Dokter Andi. Mata kecil itu membaca dengan saksama.
“Diarenya berlendir atau berdarah? Berapa kali sehari?”
“Nggak, Dok. Hanya air, hari ini sudah lebih tujuh kali.”
“Panas badannya? Sudah berapa lama?”
“Suhunya tiga puluh delapan derajat celcius. Diarenya sudah dua hari, Dok.”
“Pasien demam ada dua kemungkinan. Bisa karena infeksi virusnya atau karena dehidrasi. Kalau diare baru dua hari, tak perlu anti biotik. Kecuali ada lendir atau darah. Kasus diare pada anak yang penting jangan sampai kekurangan cairan. Sesudah kehilangan cairan karena BAB atau muntah, jika masih ASI teruskan, atau diberi larutan oralit. Keluarganya sudah diedukasi?”
“Sudah, Dok. Saya sampaikan kalau anak harus diberi cairan kembali setelah BAB. Kemudian jangan lupa ibunya selalu cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien.”
“Terapi yang kamu berikan ini kurang tepat ya, Na,” ucapnya lagi sambil menulis ulang resep untuk pasien tadi. Dara manis itu segera berlari ke Ruang Mita.
“Mit, pasien Arga udah ngambil obat belum?”
“Belum. Itu masih di situ resepnya.”