Midwife Love Story

Rosalina Vega
Chapter #16

No free Lunch

Keesokan paginya, Kirana mendiskusikan keadaan Leman dengan Dokter Andi. Ia melaporkan bahwa Pak RT dan Tokoh Masyarakat Desa kemiling sudah siap untuk mendampingi Tim Puskesmas Tangsi mengunjungi kediaman Pak Darta. Pria berbadan gempal itu antusias menyimak.

“Benar kata bapaknya itu, Na. Bukan serta merta pasien itu dilepas rantainya. Perlu proses. Kita obati dulu, kita edukasi keluarganya, masyarakatnya, ketika benar-benar siap baru kita buka bertahap. Seminggu sekali misalnya. Nanti pasiennya dijanji dulu, boleh dilepas rantainya kalau rajin minum obat. Itupun jangan dilepas terus ditinggal pergi. Tetap ditunggui sambil diobservasi, setelahnya pasang kembali. Nggak pa-pa begitu,” kuliah Dokter Andi siang ini.

Kirana manggut-manggut, bingung mau bertanya apa. Sudah dijelaskan semuanya. Seorang petugas pendaftaran datang membawa berkas rekam medis.

“Permisi, Dok. Ada pasien,” ujarnya sopan sambil meletakkan kertas ke atas meja.

Pria oriental itu mengangguk kemudian berkata,”langsung suruh masuk saja.”

Kirana ingin undur diri dari Ruang Pemeriksaan Umum, tetapi perawat yang bertugas di sana sedang keluar. Ia memutuskan untuk menjadi asisten sementara Dokter Andi.

“Boleh tolong ditensi pasiennya, Na.”

“Iya, Dok.”

Bidan muda itu cekatan merekatkan manset ke lengan seorang ibu, setelah memintanya berbaring di meja periksa. Jari kirinya menekan denyut nadi  di pergelangan tangan pasien. Matanya fokus ke jarum yang bergerak ke kanan seiring tangannya yang memompa bola tensimeter.

“Seratus empat puluh per seratus, Dok,” ujarnya setelah melepas pengunci.

“Dari mana bisa tau kalau tak mengenakan stetoskop?”

Kirana terkejut mendengar pertanyaan pria berkaca mata tebal itu. Detik selanjutnya ia merasa malu karena ketahuan bekerja tak sesuai dengan SOP.

“Maaf, Dok,” ucapnya lagi.

“Coba ulangi, pakai stetoskop!”

Gadis itu mengangguk patuh. Setelah pemeriksaan tanda vital dilakukan, giliran pria oriental itu melakukan anamnese mendalam.  Dokter lulusan terbaik Universitas Sriwijaya itu memang patut diacungi jempol. Ia selalu berusaha total dan On Procedure kepada setiap pasien yang datang.

***

“Kamu ngurusin ODGJ juga sekarang, Na?” tanya Angga. Hari ini jadwal rutinnya mengunjungi Kirana. Lebih tepatnya mengunjungi posyandu balita di Desa kemiling.

“Ya gimana lagi, selain karena instruksi dari Dokter Andi, aku juga kasihan sama mereka. Lagipula desa ini di bawah tanggung jawabku. Aku harus menjamin penduduknya mendapatkan pelayanan kesehatan yang merata," jawab gadis itu teoritis.

“Tapi kamu tetep hati-hati, ya.”

Kirana mengangguk sambil tersenyum. Angga selalu perhatian kepadanya. Beberapa kali mereka pergi berdua. Pernah juga pergi menonton bioskop ke kota sebelah yang berjarak tiga jam perjalanan mengendarai motor. Gadis itu bahkan pernah diajak Angga mampir ke rumah dan berkenalan dengan orang tuanya. Namun hanya perhatian saja, mulutnya tak pernah menyatakan apapun. Sampai detik ini Kirana masih menunggu kepastian hubungan itu mau dibawa ke mana.

Dokter Andi datang mengendarai APV putih berplat merah. Dia memarkir kendaraan dinas itu di halaman Pustu. Ternyata duo keong racun ikut di dalamnya. Melihat keberadaan Angga, mereka berdehem-dehem.

“Sini masuk dulu. Kalian pasti laper, nih aku bikin kue!” teriak Kirana dari depan pintu.

Mereka berempat duduk di ruang tamu. Dara manis itu membuat seteko teh hangat, dan menyajikan kue bolu buatannya. Keripik ubi buah tangan dari Angga dimasukkannya ke dalam toples di atas meja.

“Wahh, semenjak tinggal di pustu Kak Na banyak kemajuan. Calon istri idaman, nihh!” goda Chika sambil mengambil kue di piring.

“Hemm, enak. Kak Na!” serunya setelah mencicip kue buatan Kirana. Mulutnya penuh. Tangannya menyambar kembali irisan kue bolu. Angga tertawa melihat tingkah gadis Minang itu.

“Chika! Ini calon bayangkari satu, bar-bar banget! Dokter Andi aja makannya pelan-pelan gitu!” hardik Mita garang. Mukanya berubah ramah saat menyodorkan cangkir ke hadapan Mr.Po.

“Ini tehnya, Dokter,” ucapnya manis.

Sorry, saya nggak minum manis. Air putih saja ada, Na?” tanya pria berkulit putih itu kemudian. Chika terbahak puas. Mita pura-pura melayangkan tinju ke arah Dokter Andi yang fokus dengan ponselnya.

Lihat selengkapnya