“Mau ke mana Bu Bidan Siti?” tanya salah seorang warga.
“Kami mau ke Kebun Lereh, Mang,” jawab Siti dengan gaya ‘medok’nya yang khas.
“Mau apa ke sana? Itu kan jauh sekali, di balik bukit!” seru lelelaki paruh baya itu sambil menunjuk ke arah timur. Geng Hatori berpandangan heran.
“Ada pasien yang dipasung. Jadi kami mau ke sana,” jelas Siti kemudian. Lelaki itu manggut-manggut.
“Hari ini mendung, lebih baik jangan jalan kaki. Sewa saja ojek yang biasa mengangkut kopi biar lebih cepat sampai,” usulnya kemudian.
Kirana membuang napas lega. Membayangkan akan berjalan kaki selama dua jam, dadanya sudah terasa sesak.
“Benar juga, Mang. Boleh minta tolong carikan ojeknya?” pintanya cepat, sebelum Siti berubah pikiran. Bidan Desa Benca itu terkenal pelit dan perhitungan.
“Biar ongkosnya irit satu motor dua orang saja. Jadi, tolong carikan dua ojek, Mang!” sambar permpuan Jawa itu cepat.
Beberapa menit kemudian datang dua orang pemuda. Masing-masing mengendarai motor yang sudah dimodifikasi. Warga sekitar biasa menyebutnya motor grandong. Bagian roda ditambahkan rantai supaya tidak slip.
Pengalaman hidup yang baru pertama kali dialami oleh Kirana dan kawan-kawan. Masuk ke dalam kebun membelah bukit. Jalurnya sangat sempit, belum bisa disebut jalan. Lebih mirip sebuah parit yang hanya bisa dilewati satu motor. Batu-batuan terjal membuat kendaraan yang mereka tumpangi nyaris oleng. Saat jalan menanjak, rombongan memilih turun dan berjalan kaki. Mendaki bukit dengan berpegangan pada akar kayu di kiri dan kanannya. Bekas hujan semalam masih menyisakan licin di tanah yang liat. Membuat Kirana beberapa kali hampir terpeleset.
“Luar biasa!” jeritnya melepas lelah.
Sampai di atas bukit Geng Hatori beristirahat. Napas tinggal satu-satu, muka gadis-gadis itu semrawut. Mita terlihat pucat pasi. Chika yang biasanya tertawa renyah kali ini diam membisu.
“Masih jauh, Kak?” tanya Kirana pada salah seorang tukang ojek.
“Separuh jalan lagi!”
“Hah?! Aduh Mami! Mau pulang jauh, mau lanjut kok begini amat, ya, Tuhan!” jerit Mita kemudian. Tawa Chika kembali mendengar ratapan gadis berkacamata itu.
“Sabar Kak Mita. Ayok semangat!” teriaknya sambil membentangkan tangan menghadang angin di atas bukit. Pemandangan hijau membentang sedikit menghibur raga yang lelah.
“Mbak Siti, katanya jalan kaki dua jam sampai. Kita sudah setengah jam lebih naik motor grandong mendaki bukit, kok belum terlihat ada pemukiman?” protes Kirana sambil melirik arloji di pergelangan tangan. Wanita berkulit sawo matang itu hanya meringis.
“Aku juga ndak tau pasti tempatnya di mana, he he," ujarnya kemudian.
“Nggak jauh lagi kok Bu Bidan. Kita tinggal turun, paling lima belas menit lagi sampai,” sahut salah satu tukang ojek. Mereka akhirnya pasrah kemudian melanjutkan perjalanan.
Ternyata memang terdapat pemukiman di dalam hutan ini. Terdiri kurang lebih sepuluh bangunan pondok yang terbuat dari papan. Tukang ojek membantu memperkenalkan mereka kepada penghuni ‘komplek’ itu.
“Apa betul di sini ada yang dipasung?” tanya Siti kepada seorang warga yang ditemui.
“Iya, ada. Adik iparnya Mang Burhan. Itu pondoknya sebelah sana,” ucap seorang perempuan sambil menunjuk bangunan di atasnya. Pondok berdiri menyesuaikan dengan bentuk tanah yang bertingkat.