Midwife Love Story

Rosalina Vega
Chapter #18

Ilmu Yakin

Semenjak Leman teratur minum obat, kondisinya jauh lebih baik. Tubuhnya lebih bersih dan terawat. Rambut yang gondrong tak beraturan sekarang dipotong rapi. Kukunya tak lagi panjang dan hitam. Penyuluhan yang dilakukan Dokter Andi waktu itu ampuh untuk menggerakkan masyarakat ikut peduli kepada keluarga Leman. Masalahnya tinggal Pak Darta, ia tak mengijinkan membuka rantai yang melilit perut Leman walau hanya sebentar saja.

Sore ini Kirana kedatangan seorang pasien lansia langganannya.

“Apa benar anak Darta sembuh karenamu?” tanya Nek Warti setelah selesai diperiksa.

“Bukan karena saya, Nek. Tapi karena Allah, kami hanya sebagai perantara saja dengan rutin memberinya obat,” jawab Kirana seraya melengkungkan senyum manis.

“Anakku juga aneh kelakuannya, Na.”

“Aneh bagaimana, Nek?”

“Dia suka berkeliaran tanpa tujuan, banyak yang bilang padaku Arlan suka kencing sembarangan tak tahu malu. Di rumah lebih ngeri lagi. Nasi sebakul bisa habis olehnya sendiri. Gula kopi kalau nggak disembunyikan, sekilo bisa habis sehari olehnya. Pusing aku dibuatnya. Tolong obati Arlan juga, Na.”

“Ohh, yang tinggi besar suka jalan-jalan itu anaknya Nek Warti?”

“Iya, Arlan namanya. Baru beberapa bulan ini dia begitu. Gara-garanya kecewa sama uwaknya. Dia dulu susah payah membuka kebun di bukit sana. Eh, giliran sudah jadi malah diambil alih orang lain. Langsung jadi begitu dia,” jelas wanita tua itu getir.

“Hmm, wajar saja perilakunya aneh, memperlihatkan onderdilnya tanpa malu ternyata memang ‘terganggu’,” gumam sang bidan dalam hati.

“Baik, Nek. Besok saya konsulkan dulu ke dokter supaya Arlan dapat obatnya.”

Tak dipungkiri, ketekunan Kirana dan tim Puskesmas Tangsi merawat Leman mulai membuahkan hasil. Kabar keberhasilan mereka mulai menyebar dari mulut ke mulut. Beberapa warga yang anggota keluarganya mengalami gangguan ke arah kejiwaan dengan sadar diri mendatangi bidan desa untuk minta diobati.

***

Hari bahagia Chika tiba. Setelah calon suaminya menyelesaikan pendidikan di Sukabumi, pernikahan pun digelar. Kirana dan Mita tidak bisa hadir dalam acara akad nikah yang diselenggarakan di Bukittinggi. Mereka berencana datang ke resepsi dari pihak mempelai lelaki. Di salah satu gedung serba guna di kota sejuk ini, minggu depan. Beruntung sekali gadis itu, sudah punya suami ganteng, polisi, anak pejabat pula. Kirana Menyesal? Mungkin.  

Coba saat itu nomor ponselnya yang dijadikan jaminan, mungkin ia yang akan dekat dengan polisi itu. Namun, cepat ia tepis pikiran itu. Ia teringat pesan Mama, bahwa rejeki, jodoh dan maut sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tugasnya hanya memantaskan diri supaya kelak mendapatkan jodoh terbaik. Sekarang, jalani saja apa yang ada di depan mata.

Kirana bahagia melihat sahabatnya bahagia. Seperti ia berusaha tertawa melihat Reva bersanding dengan Iqbal, meskipun dalam hati menangis.

“Na!” panggil seseorang saat bidan muda itu melangkah ke parkiran. Suara yang sangat ia kenal. Kirana menolehnya lesu. Tak dihiraukannya panggilan itu kemudian melanjutkan langkah.

“Tunggu, Na!” pekik Angga seraya meraih lengan sang dara manis.

Kirana berbalik menghadapnya. Sebenarnya ia malas meladeni. Sikap lelaki itu yang tak jelas membuatnya jengah.

“Maafkan aku, Na,” ucapnya kemudian.

Kirana menepis cengkeraman tangan Angga. “Nggak perlu minta maaf. Aku sudah lupa, kok,” jawabnya dingin.

Semenjak hari itu hubungan Angga dan gadis itu agak merenggang. Dua bulan terakhir, mereka hanya saling diam tak bertegur sapa. Hari ini tak ada hujan tak ada angin tiba-tiba Angga meminta maaf.

“Dari kemarin kemana saja, Melehoy?” batin gadis itu geram.

“Serius, Na. Aku minta maaf. Sebenarnya aku begitu karena khawatir sama kamu,” jelasnya lembut.

“Nah, coba dari kemarin ngomong begitu, ‘kan hati ini jadi nggak gegana--gelisah galau merana. Hhh, cuma khawatir, nggak lebih?” Mulut Kirana mengerucut mendengar pernyataan Angga.

“Maafkan aku, ya? Kita baikan?” ujar Angga coba merayu sambil mengacungkan jari kelingking. Senyumnya terkembang, sorot mata itu melembut penuh harap. Kirana pun akhirnya luluh.

 “Oke, kita baikan. Tapi jangan marah-marah nggak jelas lagi!” ancamnya kemudian. Lelaki berhidung mancung itu tersenyum, kelingking mereka saling bertaut.

“Kamu juga jangan bikin aku khawatir.”

Angga mengacak jilbab gadis manis di hadapannya. Senyum Kirana terukir, hatinya terasa berbunga karena perlakuan manis pria kece itu.

“Tumben sendirian, mana dayang-dayangmu?”

Lihat selengkapnya