Minggu pagi yang cerah. Kirana sudah siap dengan gaun berbahan satin berlapis brukat warna salem. Hijab warna senada disematkan rapi. Wedges membuatnya semakin percaya diri. Suara klakson mobil terdengar di halaman Pustu. Gadis itu segera menyambar tas hitam kecil kesayangan dan mengunci pintu. Tak lupa ia memasang papan ‘Tutup’ di jendela, lalu melangkah menuju Avanza silver yang dikendarai Angga.
“Sudah lama nunggu?” tanya pria tampan itu sesaat setelah Kirana duduk.
Aroma parfum maskulin mengisi rongga hidung. Penampilannya sungguh memesona. Wajah bersih, potongan rambut rapi, kemeja batik berwarna coklat yang tampak pas di kulitnya yang terang. Wanita normal mana yang tak akan terpana melihat sosoknya. Termasuk Kirana.
“Nggak kok, baru aja beres touch up,” jawabnya sambil tersenyum.
Matanya melirik sekilas wajah di kaca spion. Make up minimalis dengan eye shadow warna nute. Blush on dibubuhkan tips di pipi membuat ia terlihat segar. Lipstik warna peach menghiasi bibirnya.
“Kamu cantik kalau dandan,” puji pria itu kemudian. Reflek Kirana tersenyum malu.
“Kita cuma berdua aja, nih, Kak?”
“Enggak, nanti Yuk Laili dan Reli ikut kita juga. Setelah ini kita langsung jemput mereka.”
Perjalanan ke kota kurang lebih 40 menit. Kirana kembali merapikan diri sebelum turun dari mobil. Setelah sampai di gedung serba guna, tamu undangan telah ramai. Terlihat Mita yang memakai gaun warna senada dengannya sedang bercengkrama dengan seseorang.
“Hai, Girl! Sudah lama?” sapanya riang.
“Belum. Yuk kita masuk. Pak Derry sama istrinya ada di dalam. Acaranya udah mulai. Kita tinggal masuk, salaman, foto, makan, terus pulang,” jelasnya lagi.
“Cantik banget kamu hari ini. Syahrini mah lewat!”
Mita mengerjap-ngerjapkan matanya yang memakai softlens warna abu-abu mendengar pujian sang sahabat.
“Tapi sayang, nggak bawa gandengan! Ha ha ha!”
Gadis berlesung pipi itu mendorong bahu Kirana pelan. “Sok ngatain orang, kamu aja kagak ada yang nggandeng!” balasnya sewot.
“Ihh, kata siapa? Aku tadi dijemput cowok ganteng tauk!”
“Buktinya mana si doi sekarang?”
Kemana Angga tadi? Kirana celingukan mencarinya, ternyata lelaki itu sedang bercanda ria dengan beberapa pria tegap berbaju batik seragam. Mungkin kerabat atau rekan Yansa di kepolisian.
“Capcuz kita salaman sama penganten,” ajaknya cepat mengalihkan perhatian Mita.
Pelaminan berdiri gagah dengan dominasi warna emas. Chika terlihat cantik dibalut baju kurung berwarna merah marun. Aesan Paksangko khas Palembang menghiasi kepalanya. Yansa tak kalah gagah. Aura ketampanannya makin terpancar dengan Songkok Emas yang dikenakan. Pasangan yang serasi.
Setelah bercipika-cipiki, mereka berfoto dengan berbagai gaya dan formasi bersama Tangsi Rangers. Hidangan yang tersedia disantap sambil menikmati hiburan organ tunggal.
“Oke, hadirin yang berbahagia. Tiba saatnya perwakilan staf Puskesmas Tangsi untuk menyumbangkan lagunya. Baiklah langsung saja kita panggilkan dara manis kesayangan kita semua, Bidan Kirana!”
Gadis itu agak terkejut namanya disebut. Rekan-rekan kerjanya bertepuk tangan memberi semangat. Ia pun maju ke depan, kemudian menaiki panggung yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia mulai bernyanyi semua mata tertuju kepadanya. Tangsi Rangers bersorak sorai memberi dukungan. Lagu favorit dinyanyikannya dari lubuk hati yang paling dalam.
Sampai kapan kau gantung cerita cintaku?
Memberi harapan
Hingga mungkin 'ku tak sanggup lagi
Dan meninggalkan dirimu
Angga menatap gadis itu dari kejauhan. Lirik lagu Melly Goeslow itu memang kupersembahkan Kirana untuknya. Selama beberapa saat pandangan mereka bertemu. Tidak ada yang berubah dari ekspresi lelaki itu, biasa saja.