Sepulang dari piket di Puskesmas Tangsi, Kirana merebahkan badan sembari melanjutkan membaca novel favorit. Azan Ashar berkumandang, ia teringat obat Leman yang harus segera diantar. Setelah salat ia berjalan kaki menuju rumah Mak Romlah.
Gadis itu mengintip dari lubang anyaman bambu. Lelaki itu sedang duduk terjaga. Kirana membuka pintu bilik yang tak lagi digembok.
“Assalamualaikum,” sapanya ramah.
Bibir yang hitam itu melengkungkan senyum, kemudian menjawab salam sang bidan desa. Kondisinya sekarang jauh lebih baik. Menurut Dokter Andi, Leman sudah sehat. Kontak mata bagus, komunikasi nyambung meskipun datar. Badan lebih berisi, rantai yang membelenggu pinggangnya tampak sempit.
“Leman, sudah minum obat belum?” tanya Kirana lembut. Lelaki tiga puluh dua tahun itu menatapnya ramah, tak seperti saat awal bertemu dulu.
“Obatnya habis. Nunggu Kirana dulu,” jawabnya datar. .
“Pagi tadi minum kan?”
“Minum.”
“Bagus,” puji Kirana sambil mengacungkan jempol.
“Leman kenapa dulu suka jalan-jalan sampai ke atas bukit sana?” tanyanya lagi sambil menunjuk ke arah timur.
“Ada yang ngajak.”
“Ooh, suara saja atau ada wujudnya?”
“Suara.”
“Sekarang, masih suka ada yang bisik-bisik di telinga Leman?”
Lelaki itu menggeleng. “Aku sudah sehat. Kapan dilepas?” cecarnya kemudian.
Kirana tersenyum kecut. Sebenarnya Leman sudah bisa mulai dilepas. Kondisinya sudah tenang. Emosinya juga sudah stabil. Namun, keputusan ada di tangan Pak Darta. Lelaki pincang itu belum bersedia membuka rantai yang membelenggu hidup anaknya.
“Eh, ada Kirana. Sudah lama, Na?” tanya Mak Romlah yang datang membawakan kopi untuk Leman.
“Lumayan, Mak. Habis ngobrol sama Leman tadi,” jawab gadis itu sopan.
“Kirana mau Emak buatkan teh?” tawarnya kemudian.
“Nggak usah repot-repot, Mak. Saya ke sini mengantar obatnya Leman. Tapi, ada satu obat yang sedang kosong.”
Kirana menyerahkan obat dalam plastik berwarna biru kepada Mak Romlah.
“Nanti kalau Leman sudah minum obat yang warna pink ini, terus lidah atau badannya kaku, keluar liurnya terus, atau badannya gemetar, segera panggil saya ya, Mak,” lanjutnya lagi.
“Ooh. Nggak apa-apa tapi, Na?”
“Kata Dokter, nggak pa-pa. Nanti kalau terjadi seperti yang saya sebutkan tadi, Leman saya suntik obat penetralnya. Emak nggak usah khawatir.”
Perempuan tua itu tersenyum.
“Saya pamit dulu ya, Mak. Leman, aku pulang dulu ya!”
Lelaki itu tak mendengar suara Kirana. Ia asyik dengan kopi dalam cangkir kalengnya.
“Terimakasih, Na,” ucap Mak Romlah kemudian. Bidan muda itu membalasnya dengan anggukan kepala dan lengkungan senyum di bibir.
Selepas Maghrib beberapa pasien datang berobat, salah satunya Nek Warti.