Midwife Love Story

Rosalina Vega
Chapter #21

Sang Insinyur

“Den, Deni!” teriak Emil ketika melihat adiknya duduk di atas motor yang terparkir di depan rumah Mak Romlah. Insinyur Pertanian lulusan IPB itu baru saja pulang dari jamaah salat Isya di masjid. Bocah itu pun menoleh ke sumber suara.

“Ngapain di situ?” tanya Emil kemudian.

“Di dalam ada Bu Bidan. Tadi Leman kaku-kaku badannya, Wak Romlah suruh aku jemput dia.”

“Ooh. Kamu pergi aja, gih!” usir pemuda itu kemudian.

“Loh, nanti Bu Bidan gimana pulangnya?”

“Dahlah, itu jadi urusan Kakak. Dah sana pergi, Kakak mau ganti baju dulu.”  

“Motornya?”

“Bawa aja sana.”

“Oke. Semoga sukses, Bro!” ujar Deni seraya melajukan motornya pergi.

Dengan bersiul-siul penuh gembira, Emil menganti bajunya. Celana berbahan denim dengan atasan kaos putih, dibalut jaket bomber warna navy. Penampilannya terlihat keren.

Nama Candra Kirana telah menggema di kepalanya jauh sebelum dia memutuskan pulang ke kampung halaman. Emaknya begitu antusias menceritakan sepak terjang bidan muda itu.

“Mil, kapan kamu pulang? Ini lho, di desa kita ada bidan desa baru. Masih gadis, orangnya cantik, baik, sopan, pinter lagi. Nenek-nenek di sini diajakin senam, ada posyandunya juga. Kali aja kamu berjodoh sama dia. Pulang, ya, Mil. Emak kangen. Udah lebih tiga tahun kamu nggak pulang-pulang,” lapor Mak Minar beberapa waktu yang lalu melalui sambungan telepon.

Emil adalah anak pertamanya, dan masih betah melajang di usia menginjak kepala tiga. Tumbuh kekhawatiran di hati ibu empat anak itu. Setelah mengenal Kirana, ia merasa cocok dengan gadis itu. Ia pun berharap anak itu mau bersanding dengan sang bidan yang telah menawan hatinya.

“Mil, Bidan Kirana itu loh, hebat banget. Dia obatin Leman. Sekarang udah jauh lebih mendingan sepupumu itu. Kapan kamu pulang, Nak? Masa mau di Jakarta terus? Sawah sama kebun kita itu nggak ada yang urus, sayang, kan? Terus gimana, kamu udah ada calon belum?”

Mak Minar tak berhenti membujuk putranya untuk pulang kampung. Akhirnya dengan terpaksa Emil menuruti kehendak orang tuanya. Ia memutuskan resign dari pekerjaannya dan memulai hidup baru sebagai petani di tanah kelahiran.

Lelaki berbadan atletis itu berdiri mematung di balik pintu bilik Leman, menunggu saat yang tepat. Ketika Mak Romlah kebingungan mencari Deni yang telah pergi. Ia pun muncul, mengejutkan sang bidan.

“Kak Emil?!”

Lelaki itu tersenyum, memamerkan lekuk yang dalam di kedua pipinya.

 “Kok bisa di sini?” tanya Kirana masih dengan keheranan.

“Na, Emil ini kakaknya Deni. Keponakan Emak, sepupu Leman juga. Kalian sudah saling kenal?”

Kirana menggaruk belakang telinganya yang mendadak gatal. Ia tak menyangka bertemu lagi dengan pria yang menolongnya waktu itu.

“Sudah sana anterin pulang, Mil. Kasihan sudah malam, Kirana mau istirahat,” perintah Mak Romlah kemudian.

“Jalan kaki saja nggak pa-pa, kan? Motor dipakai Deni entah ke mana. Atau mau diantar pake motor grandong?” tawar Emil sambil memainkan sebelah matanya. Kirana tergelak mendengarnya.

“Jalan kaki saja tak apa, Kak,” jawabnya kemudian.

Mereka berjalan beriringan di bawah sinar rembulan. Selama beberapa menit hanya diam memandang langkah kaki masing-masing. Dada mereka sama-sama berdegup tak wajar.

“Mmm, Kak Emil baru kelihatan di desa ini. Selama ini di mana?” tanya Kirana memecah kebekuan.

“Aku di Jakarta. Baru sekitar dua minggu yang lalu aku pulang kampung.”

“Ooh, liburan ya?”

“Rencana awal sih hanya sekedar liburan. Ingin melepas rindu dengan sanak keluarga. Tapi sepertinya rencanaku berubah, aku ingin menetap di sini saja. Mengelola kebun dan sawah milik Bapak. Sesuai dengan ilmu yang telah kupelajari saat kuliah dulu.”

Kirana manggut-manggut mendengar ceritanya.

“Kak Emil ambil jurusan apa dulu waktu kuliah?” tanya gadis itu antusias.

“Pertanian.”

“Ooh, terus di Jakarta kerja di mana?”

“Di Bank.”

“Hah? Jauh banget melencengnya,” ujar Kirana sambil terkekeh.

Emil terpesona dengan gadis itu. “Betul kata Emak, Bidan Kirana memang istimewa,” gumamnya dalam hati.

“Kamu betah di sini, Na?” Pemuda bercambang tipis itu balik bertanya.

“Ya ... betah nggak betah. Mau bagaimana lagi, namanya tugas,” jawab gadis itu diplomatis.

 “Kamu hebat.”

“Hebat apanya, Kak?”

Lihat selengkapnya