"Riendra!"
Panggilan itu otomatis membuat Riendra menoleh ke kiri dengan biji bola mata yang tampak kosong. Sama seperti ekspresi wajahnya yang dingin dan datar. Tanpa ada satu pun guratan ekspresi yang tertoreh di sana. Layaknya mayat hidup yang baru saja bangkit dari kematian.
Ayahnya yang melihat itu bergegas meraih dan menarik tangan kiri Riendra ke wastafel. Lalu menyalakan keran untuk membasuhnya dengan air yang suhunya seperti air es.
Di saat itulah, syaraf-syarafnya mulai bekerja. Mengirimkan sinyal listrik ke otak untuk menyadarkan Riendra. Ketika telapak tangan kirinya disusupi molekul-molekul air yang masuk melalui pori-pori kulit.
Di titik itulah, Riendra sadar dan langsung berteriak histeris. Karena merasakan nyeri yang dia rasakan pada ujung jempol kirinya. Apalagi ketika melihat ada darah yang keluar di sana. Akibatnya, dia nyaris limbung di tempat. Beruntung sang Ayah refleks mendekap tubuh Riendra agar tidak ambruk di lantai keramik yang dingin dan berwarna putih susu.
"Kamu tidak apa-apa, Nak?"