Tiba-tiba saja Ibunya bertanya seperti itu, tepat ketika Riendra hendak menelan suapan tadi. Di saat itu juga, hasil kunyahan bubur menjadi susah untuk ditelan. Terasa nyangkut di tepian rongga mulut yang mengarah ke kerongkongan, padahal sudah encer dan manis.
"Nak, Sebenarnya, Ayah belakang ini melihat kamu sering ke dapur setiap pagi buta. Apa kamu bergadang setiap hari? Padahal kamu tahukan kalau begadang terlalu sering tidak baik bagi kesehatan. Bukankah kamu belum masuk masa skripsi? Apa yang sebenarnya kamu kerjakan setiap malam? " Kembali Ayahnya ikut angkat bicara dan kali ini dengan kedua tangan melipat di dada.
Untuk sepersekian detik, Riendra membisu dalam keheningan dirinya sendiri. Karena masih berjuang menelan suapan tadi sambil sedikit menundukkan. Rasanya sakit ketika dia memaksakan hal tersebut. Seperti menelan ikan pindang yang masih ada duri-duri halusnya.
Setelah sukses melakukan itu, dengan menahan rasa sakit yang masih menyengat di kerongkongan, Riendra pun mulai berkata jujur kepada kedua orang tuanya. Tapi, dia hanya menatap Ibunya saat mengatakan semua itu. Tanpa pernah sekalipun memandang sang Ayah. Barang tentu hal ini seketika membuat mereka tercengang. Sampai-sampai keduanya harus mempertemukan biji bola mata dan seakan-akan ingin saling menyalahkan.