Nyaris saja Riendra berteriak kesal mengeluarkan satu kata tidak elok. Kata yang memang sepantasnya tidak diucapkan oleh siapapun. Apalagi bagi dirinya yang seorang perempuan terpelajar, terhormat, dan penulis. Jika sampai diucapkan, maka attitude langsung jatuh ke angka nol. Beruntung hal itu bisa dia rem sebelum mencuat bebas dari bibir tipisnya yang berwarna merah muda alami.
Riendra pun memilih bergegas kembali ke ranjang, lalu dengan cepat menutupi separuh tubuh dengan selimut bermotif dalmatian. Kemudian dia berpura-pura memejamkan kedua mata dan mengatur napas agar terlihat seperti orang yang sedang tidur.
"Nak, ini Ibu." Suara Ibunya yang terdengar lantang dan bersaing dengan derit pintu. "dokter yang mau memeriksa kamu sudah datang." Sambil berjalan masuk ke kamar bersama seorang pria.
Sosok itu memakai kacamata tebal dan membawa tas duffel berwarna hitam berbahan kulit sintetis. Dengan uban yang terlihat merata di seluruh rambutnya. Sekilas secara fisik nyaris mirip dengan Ayahnya Riendra. Maksudnya secara tinggi dan berat badan yang sama-sama kurus serta jangkung. Tapi tidak ceking. Sehingga jas dokter yang dikenakannya tampak sangat pas.
Keduanya berjalan nyaris beriringan, sedangkan Riendra terlihat berpura-pura menggeliat seakan-akan baru terbangun dari tidur. Lalu mengucek kedua mata sebelum menoleh ke kiri. Dia juga terlihat menguap tanpa lupa menutup mulut agar dianggap sopan. Apalagi ada orang asing bersama Ibunya. Padahal, biasanya dia tidak begitu.
"Maaf, kalau Ibu sudah membuat kamu terbangun, Nak."
"Gapapa, Bu." Dengan suara yang dibuat malas, pelan, dan lemah agar terdengar seperti orang baru bangun tidur.