Lima belas menit sudah waktu yang terurai setelah kepergian sang dokter dan Ibunya dari kamar. Riendra pun kini telah kembali sendirian dan tengah tengelam di empuknya ranjang. Alur pikirannya juga mulai ngelantur ke mana-mana dengan kedua bola mata yang fokus ke plafon. Dari memikirkan seringai sang dokter, pembicaraan yang terjadi antara Ibunya dengan dokter, hingga sikap lembut sang ibu.
Semua itu berseliweran begitu jelas di benak secara tumpang-tindih. Namun, lama-kelamaan dan perlahan-lahan mulai terdistorsi. Seiring rasa berat yang mulai menggelayuti kedua kelopak mata. Tapi ketika hendak menutup secara sempurna tiba-tiba otaknya berbisik, HP ... HP ... HP mana? Secara berulang-ulang tanpa jeda seperti sedang merapal sebuah mantra.
Seketika itu juga dia langsung melek, dengan kedua bola mata yang nyaris meloncat keluar dari rongganya. Untuk sesaat Riendra masih seperti itu karena berusaha mengabaikan. Tapi, bisikan tersebut semakin lama semakin kuat dan terus menyesaki tiap ruang di otak. Sampai-sampai kedua telinga mulai merasa bising dengan bisikan tersebut. Sehingga membuat hatinya menjadi gusar dan merasa tidak nyaman. Hingga pada titik puncaknya sudah berani membentak Riendra.
Aku butuh HP sekarang juga!
Di saat itulah, tubuh Riendra langsung bangkit dari kasur. Seperti robot yang dikendalikan melalui remote control dengan kedua mata yang masih terbelalak. Langkahnya pun terlihat kaku saat berjalan ke arah meja belajar dan ketika sudah sampai di sana, Riendra langsung mengacak-acak dengan kalap.
Mana? Mana? Mana HP-ku? Batinnya tiada henti.
Di saat dia lagi tenggelam mencari ponsel lipatnya, tiba-tiba untuk kedua kali pintu kamar diketuk. Tapi kali ini diiringi dengan menyebut bagian akhir dari namanya, "Ndra, ini kami."