"Tapikan saat itu ada mereka semua. Gak mungkin deh salah satu dari mereka ada yang berani buka HP-ku. Apalagi di sana ada Vyasti. Pasti bakal disemprot ama dia."
Kali ini Riendra memotong sekaligus menampik ucapan serta pikiran sendiri dan terlihat seperti sedang berbicara dengan orang lain. Apalagi saat dia bicara tangan kirinya terlihat terus bergerak sana sini. Hal yang biasa dia lakukan ketika sedang berkomunikasi dengan siapa saja. Kecuali kepada kedua orang tuanya. Di mana dia terlihat lebih kalem dan santun. Termasuk bahasa Indonesia yang digunakan. Terdengar baku.
"Lagian HP-ku kan pakai passwords. Jadi gak mungkin deh ada yang bisa buka," ucapnya lagi sambil kembali mengingat kejadian saat meninggalkan ponsel di meja karena kebelet mau pipis.
Dan di saat itulah dia tiba-tiba berteriak histeris, "Cing, cing, cicing!" Dengan sangat lantang hingga urat-urat di batang leher pada bermunculan seperti akar pohon. Tampak jelas di kulitnya yang putih bersih bak putri salju.
Yah, akhirnya Riendra mengeluarkan kata kotor tersebut secara spontan. Satu kata yang bisa juga digunakan untuk memaki dalam bahasa Bali—anjing. Karena baru menyadari keteledoran yang dia lakukan saat meninggalkan ponsel di meja dalam keadaan terbuka dan layar masih menyala. Sungguh hal itu seharusnya sangat haram untuk dia lakukan. Sebab benda lipat yang ajaib nan pintar itu sudah menjadi separuh dari dirinya karena berisi hal-hal penting dan pribadi. Dari foto, video, m-Banking, draf novel serta beberapa catatan kecil yang sangat rahasia. Selain itu, ponsel lipat keluaran terbaru tersebut tersinkronkan dengan laptopnya. Jadi, jika ada orang lain yang membukanya itu sama saja seperti sedang menelanjangi dirinya. Dalam pengertian harfiah.