MIKA PELAYAN SENSI

Euis Shakilaraya
Chapter #1

Si Sensi

“Lu tahu kenapa mereka liatin gue terus, Van?” Mika menarik satu-satunya kursi di Blok M yang masih kosong sembari mengedarkan pandangannya.

Bukan Blok M pusat perbelanjaan. Tapi memang nama kantinnya adalah Blok M. Sejak dia masuk ke kantin yang sangat ramai ini, seluruh mata pengunjung tidak membiarkannya tenang. Kasak-kusuknya benar-benar kentara. Vanilla sedang asik dengan ponselnya. Dia hanya mengendikkan bahu dan membuat Mika sebal.

“VAN!”

Astaghfirulloh, Mika. Kaget!”

“Gue nanya ke lu, jawab kek. Jangan main hape terus. Nanti gue sedekahin tuh hape baru tahu rasa lu!”

Vanilla sudah terbiasa dengan sifat galak sahabatnya itu. Selain karena satu kos, mereka juga sudah bersama sejak masuk ke Universitas Negeri ini. Mika menatap cewek mungil di hadapannya dengan tajam.

Vanilla menyerah dan menaruh ponselnya di atas meja. Padahal dia sedang asik bermain game kekinian. Itu lho, yang kalau sudah panjang dan besar terus nabrak, rasanya ingin membanting ponsel dan membeli yang baru.

“Karena lu cantik mungkin?”

“Kenapa nggak liatin dari dulu?”

“Karena lu galak mungkin?”

“Ish!” Mika hampir melempar sendok baksonya, “Kalau karena galak ya harusnya mereka nggak berani liatin gue lah!” lanjutnya. Vanilla mengangguk-angguk.

Ya memang betul. Siapa yang berani melawan Mika? Sejak pertama masuk, bahkan saat ospek sekalipun, cewek cantik itu tidak terintimidasi sama sekali. Dia percaya diri dan ya... galak. Tidak ada lagi deskripsi paling tepat selain galak.

Vanilla mengedarkan pandangannya ke setiap sudut Blok M. Ramai sekali. Kantin ini memang menawarkan harga ramah lingkungan. Meskipun saking ramainya tidak jarang tubuh kita tersenggol orang lewat saat sedang makan, tapi semua baik-baik saja.

Vanilla memperhatikan gaya berbisik mereka, sepertinya sedang nyinyir atau bisa juga live gossiping. Tepatnya, menggosip secara langsung di depan yang digosipkan. Cewek mungil itu turut penasaran namun khawatir. Sahabatnya terkenal karena tempramennya yang buruk. Dan kalau...

BRAK!

Benar saja. Vanilla melihat Mika sudah berada tepat di meja ujung sebelah kanan yang diisi lima cewek. Kelihatannya seperti mahasiswi angkatan baru.

“Ada masalah sama gue?” setelah menggebrak meja, Mika langsung melabrak mereka yang terlihat menunduk dan tidak berani menatapnya.

Vanilla buru-buru mengambil ponselnya yang tergeletak di meja dan langsung menghampiri sahabatnya. Dia tidak ingin Mika menjadi pusat perhatian. Ya, walaupun sudah terjadi. Tapi hari gini ya, bisa-bisa langsung viral dengan headline yang aneh-aneh. Dia tidak ingin nantinya Mika harus membuat video klarifikasi dan permintaan maaf. Ih... amit-amit.

“Mik, ayok. Bentar lagi ada kelas. Sorry ya semua...”

Vanilla menarik Mika dan melambaikan tangannya kepada semua makhluk yang terkaget-kaget setelah meja makannya digebrak dengan kencang. Terutama para pedagang. Mereka sudah was-was barangkali ada pertumpahan kuah bakso di kantin. Mika misuh-misuh namun tetap menuruti langkah sahabatnya.

“Lembut dikit dong, Mik," ucap Vanilla menenangkan. Yang sedari tadi dituntun akhirnya menarik tangannya.

Sorry kurang gelatin badan gue,” balas Mika dengan nada menyebalkan.

Vanilla terkikik geli mendengar jawaban Mika yang berlalu begitu saja. Cewek cantik dengan rambut hitam legam sebahu itu meneruskan langkahnya menuju kelas. Rambutnya bergerak mengikuti irama langkah kakinya yang tergesa. Memang, tidak satu dua kali dirinya menjadi bahan perbincangan sefakultas dari berbagai angkatan. Tidak jarang pula sampai lintas fakultas.

“Femes banget ceileh...” ledek Vanilla.

“Gue curiga ada postingan apa gitu di akun lambe-lambe soal gue.” Mika terlihat sedang berpikir.

Vanilla hampir muntah. “Nggak sefemes itu sih, Mik.”

Mika langsung melotot pada sahabatnya. Lalu apa? Mengapa mereka semua menatapnya dengan tatapan yang sangat membuat tidak nyaman? Saat sedang sibuk dengan pikirannya sendiri, dosen laki-laki berkacamata sangat tebal pun memasuki ruangan kelas. Aktifitas berpikirnya mendadak berhenti. Dia menghela napas berat.

“Gue lupa kalau tugas essay kemarin belum gue print. Ish. Gara-gara pada gosipin gue sih," gerutu Mika.

Vanilla membekap mulutnya menahan tawa.

“Selamat, Mik. Baca puisi di depan.”

***

“Manyun aja tuh bibir,” goda Dias, pacar Mika. Vanilla menahan tawanya lagi.

“Ada apa sih?” Dias penasaran.

“Penasaran? Pindah gih ke kelas aku. Nggak usah sok-sokan masuk fakultas ekonomi!” cerca Mika.

Dias tertawa sembari mengacak rambut pacarnya. Mika mendengus kesal dan merapikan kembali rambutnya. Raut wajahnya tetap memberengut. Dia masih ingat peristiwa beberapa jam yang lalu saat harus membacakan puisi di depan kelas. Meskipun Mika memahami betul mengenai cara dan teknis untuk melakukannya, namun tetap saja kaku harus membaca puisi sendirian.

Setelah menarik napas dan membuangnya berkali-kali, Mika memutuskan untuk membawakan puisi Diponegoro Karya Chairil Anwar.

Lihat selengkapnya