“Bintang malam yang terjaga adalah segelimang do’a yang terpanjat untuk dia yang ingin kau rengkuh namun jauh.” -Abinaya Adhyasta-
Saat masih proses pe-de-ka-tenya Dias dalam rangka mendapatkan hati Mika, Mika pernah bertanya mengapa Dias tidak masuk saja ke fakultas bahasa dan seni kalau memang dia ingin mendalami dan sangat menyukai sastra. Jawabannya sangat mengejutkan.
“Gue bagian ekonomi, biar isteri gue yang sastra.” Iya, jawabannya sangat tidak penting dan membuat ingin muntah. Mika seketika langsung mual dan hampir memuntahkan seluruh makan siang yang baru saja ditelannya.
“Norak!!!” caci Mika. Membuat yang dicaci malah tersenyum kegirangan.
“Awalnya sering ke sini cuma buat ikut klub atau event-event anak sastra. Tapi akhirnya gue ketemu lu, Mik.”
“Ya pasti ketemulah. Kalau lu ikut kegiatannya fakultas seni rupa, nggak bakal ketemu.”
Dias terkekeh.
“Yaudah, gue ada kelas. Duluan ya.” Mika bangkit. Dias mengangguk.
Sejak menginjakkan kaki ke Jakarta, dia tidak pernah terpikir sedikitpun untuk memiliki pacar. Selain karena dia malas beradaptasi dengan cowok yang harus menjadi pacarnya, dia juga malas mengurusi hal-hal remeh yang terjadi di antara pasangan pada umumnya. Tapi melihat Dias yang selalu menyempatkan dirinya untuk datang sekadar menemaninya makan siang, mengantarnya ke kelas, dan sesekali juga mengirimi musikalisasi puisi, membuatnya mulai membuka diri.
Bukan Dias yang membaca puisi melainkan dia mencari di YouTube dan yang menurutnya bagus, akan dia kirimkan linknya kepada Mika. Tetap saja hal-hal kecil seperti itu mulai mengikis keras hatinya.
Sudah hampir empat bulan pendekatan, Dias tidak pernah bertanya soal kos atau sok-sokan mengantarnya pulang. Meski Mika sangat cuek dan kurang berjiwa melankolis, dia tetap merasa hatinya mulai meleleh. Seperti cokelat yang dipanaskan dan ditambah terigu. Tidak lupa diberi pengembang. Panggang atau kukus. Bebas.
***
“Mik. Bapak lu telpon nih. Masih lama nggak beraknya? Gue angkat dulu atau gimana?” terdengar Vanilla teriak sembari menggedor-gedor kamar mandi.
“Biarin aja dulu. Nanti biar gue telepon balik," sahut Mika.
Vanilla kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Dia sedang meminjam novel yang berjudul Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan. Mika meledeknya karena dia baru membacanya sekarang sedangkan Mika sudah berkali-kali dan tidak pernah bosan. Novel itu selalu membuatnya berdecak kagum.
Mika keluar dari kamar mandi dan segera meraih ponselnya. Dia langsung mendial kontak Bapak.
Berdering...
“Assalamualaikum,” Bapak mengucapkan salam. Mika menjawabnya pelan.
“Mbak sehat?” lanjut Bapak setelah mendengar jawaban lirih Mika.
“Sehat, Pak. Bapak gimana?”
“Alhamdulillah. Sehat juga semua. Paling Ibu aja yang lagi kurang enak badan.”
“Lho, kenapa?”
“Ndak apa-apa. Kecapean aja, Mbak. Toko lagi rame, Alhamdulillah.”
“Emang Nara nggak mau bantu jaga?”
“Semester ini selalu pulang hampir maghrib. Banyak tugas.”
“Oooh. Ibu ada, Pak?”
“Mau bicara sama Ibu? Sebentar ya, Mbak.” Kemudian terdengar Bapak memanggil Ibu yang sepertinya sedang berada di kamar.
“Hallo, Mbak... uhuk...”
“Iya, Bu. Jangan kecapean ya, Bu. Mbak jadi kepikiran nantinya.”
Mika mengatakannya dengan raut wajah sedih. Vanilla penasaran dan mencolek-colek sahabatnya. Mika menatap cewek mungil itu dan mengatakan kalau Ibu sedang sakit tanpa bersuara. Hanya megap-megap seperti ikan yang terdampar di darat.
Vanilla mengangguk-angguk dan kembali membaca. Sekitar lima belas menit Mika berbincang dengan Ibu. Melepas kangen sekaligus meminta doa karena minggu depan dia akan ujian semester.
“Yaudah, Bu. Istirahat. Salam untuk Bapak ya.”
“Iya, Mbak. Semangat ujiannya ya. Assalamualaikum.”
“Waalaikumussalam.”
“Kenapa, Mik?” Vanilla menaruh novelnya dan mencoba menuntaskan rasa penasarannya.
“Ibu sakit. Kecapean aja kayaknya. Toko lagi rame,” jelas Mika.
Keluarga Mika memiliki toko sembako yang cukup besar dan sudah memiliki banyak pelanggan di Semarang. Sedangkan mereka masih belum menemukan pegawai baru setelah yang terakhir berhenti karena menikah.
“Semoga Ibu lekas sehat ya, Mik.”