Siang ini, Mika dan Vanilla sedang malas mengantri untuk makan di blok M. Selain karena perut mereka sudah tak dapat menahan lapar, mereka juga sedang ingin makan ayam penyet langganan mereka. Perjalanan ke sana cukup terjal karena harus melewati pagar kecil yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Jalan pintas.
“Untung enak parah itu ayam penyet. Harga persahabatan pula tapi bukan kepompong,” gerutu Vanilla saat melewati pagar. Mika mendorongnya pelan.
“Buruan. Gue udah laper banget.”
“Iya, iya. Kalau penuh kita makan lesehan di bawah pohon lapangan bola aja yak,” usul Vanilla.
Mika hanya mengangguk dan berjalan terburu-buru. Dia tidak ingin menghabiskan tenaganya yang tinggal sedikit itu untuk mengobrol. Ujian semester sungguh menyita seluruh waktu dan tenaganya yang berharga. Beruntung hari ini adalah hari terakhir. Mika memang bertekad untuk selalu mendapatkan nilai terbaik agar orang tuanya di Semarang tidak menganggap kalau dia hanya bermain-main saat kuliah.
“Eh, Mika. Makan ayam penyet juga, Mik?” suara Boni. Terdengar seperti memberanikan diri untuk bertanya. Mika hanya menengok dan menatap Boni. Cowok gempal dengan gaya rambut belah tengah itupun meringis.
“Galak banget yang lapar. Kalau kenyang jadi bego nggak?” seloroh Boni. Diiringi tawa pelan dari semua mahasiswa fakultas bahasa dan seni yang sedang makan ayam penyet.
Tempat ini memang sudah menjadi favorit anak bahasa. Selain karena rasanya yang enak, tempat ini juga terletak di dekat gedung badan bahasa. Bukan hanya ayam penyet, terdapat pula penjual soto lamongan dan bakso. Selain itu, untuk yang tidak mendapatkan tempat duduk, mereka dapat makan lesehan di bawah pohon rindang yang ada di pinggiran lapangan bola.Tidak seperti di Blok M yang harus antri, berdesakan dan menahan amarah karena tertabrak atau tersenggol demi sesuap nasi.
“Bego sih, Bon. Tapi untungnya nggak bego sendirian. Lagian gue kan bego habis makan doang. Kalau lu makan nggak makan sama aja,” jawab Mika sembari mengedarkan pandangannya. Dia menatap satu per satu manusia yang menertawakannya barusan dengan tajam.
Vanilla datang dengan tergesa membawa dua bungkus ayam penyet.
“Ya Allah, Mik. Ditinggal bentar doang udah ngajak berantem orang aja. Heran.” Vanilla menarik sahabatnya itu dan berlalu menuju lapangan. Tidak jauh. Yang jelas saat sampai di lapangan bola, ayam mereka masih panas. Bukan panas karena habis dighibahin tetangga. Memang panas karena baru keluar dari penggorengan kemudian dipenyet-penyet dengan sambal.
“Habis makan kita shalat dulu aja, ya,” ajak Vanilla. Di dekat lapangan bola terdapat masjid yang cukup besar. Berbeda dengan masjid kampusnya yang sangat ramai terutama pada awal jam shalat. Mika mengangguk dan kecerahan di wajahnya sudah kembali. Moodnya sebatas makan ayam penyet. Astaghfirulloh...
***
Mika memilih bersantai di kamar Vanilla untuk membaca novel Lockwood&Co seri keempat. Mereka saling diam karena yang satu sibuk membaca. Dan yang satu lagi sibuk main game di ponsel.
“Mau balik kapan, Mik? Udah pesen tiket kereta?” Vanilla membuka pembicaraan. Mika diam saja.
“MIK, IH! Gue dikacangin,” protes Vanilla.
Mika melempar satu kacang atom yang dipanggang dengan kualitas terbaik ke arah Vanilla.
“Tuh, gue kasih kacang!” Mika terkekeh.
Vanilla yang sedari tadi duduk di kursi meja belajar, kini mengambil posisi rebahan di samping Mika. Bedanya, posisinya tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Sebagian tubuhnya di kasur dan sebagian lagi dibiarkan menjuntai di pinggiran kasur.
“Mik, kirain hape gue aja yang susah disinkronisasi. Tapi ternyata lu juga.”
“Gimana maksudnya?” Mika tidak terlalu tertarik. Dia hanya khawatir diusir oleh Vanilla jika diam saja. Dia tidak berani membaca novelnya di kamar sendirian malam-malam. Tapi tidak gelap-gelapan. Soalnya, tidak dapat membaca dalam gelap.
“Muka lu tuh ayu banget. Cakepnya khas orang Jawa. Sopan. Enak dilihat. Tapi kalau udah ngebacot, gilak. Serem. Apalagi kalau melotot. Lu mirip siapa sih di keluarga?” Mika diam saja. Ya, Vanilla bukan orang pertama yang penasaran. Tapi Mika tidak tahu jawabannya. Dia tidak merasa ada yang aneh dalam dirinya.
“Van, lain kali lu yang main ke rumah gue. Biar lu gue kenalin ke Nara, adik gue. Kalau menurut lu gue udah galak dan aneh, lu nggak akan sanggup hadepin adik gue. Percaya sama gue.” Mika menatap Vanilla dengan prihatin. Kasihan. Mika tidak dapat membayangkan bagaimana frustasinya sahabatnya itu jika melihat kelakuan Nara.
“Anehnya gimana?”
“Males nyeritainnya. Nanti aja lu liat langsung.”
“Dih, ngomong aja kalau lu ngada-ngada.”
“Yang diada-adain tuh bukan omongan, Van. Tapi duit.”
“Ish, tau ah. Kembaliin lima belas menit gue yang berharga.”
“Eek, lu yang ngajak gue ngobrol duluan. Padahal gue lagi seru baca.”