“Bapak gimana, Ra?”
“Belum sadar, Mbak. Tapi operasinya berjalan lancar.”
“Kabarin kalau udah bisa telepon ya. Yang bener jagain Bapak sementara Ibu ngurusin rumah sama toko yang kebakaran.”
“...”
Ish anak rese itu. Setiap kali Mika memberikannya nasihat, dia hanya membalas dengan titik tiga kali. Mika menghela napas berat. Meskipun dia terus mengontak adiknya untuk mengetahui keadaan bapak dan ibu, namun hatinya masih saja gelisah. Saat semalam Vanilla memeluknya dengan erat dan menyampaikan tentang apa yang terjadi, rasanya Mika sudah ingin langsung berlari dan melakukan teleportasi secepat mungkin menuju rumah sakit tempat bapak harus dioperasi karena luka bakar yang serius. Namun, karena semua itu tidak mungkin terjadi, Mika hanya mampu menangis dan menumpahkan seluruh kekhawatirannya saat akhirnya ibu menerima panggilan darinya.
“Ndak apa-apa, Mbak. Do’akan saja keluarga di sini. Mbak kan lagi ujian,” ucap ibu dengan suara yang sangat lirih dan penuh penekanan. Seolah sedang menahan airmata yang tidak ingin ditumpahkannya.
“Mbak udah selesai ujian, Bu. Mbak boleh pulang, kan?”
“Sabar dulu ya, Mbak. Bapak masih di rumah sakit. Ibu masih ngurus rumah dan toko yang kebakaran. Ini juga masih bolak-balik diminta keterangan sama polisi. Mbak bantu do’a dulu saja ya...”
Cukup lama Mika tak membuka suara. Dia hanya menangis dan diberi genggaman tangan yang erat oleh Vanilla. Sahabatnya juga menangis bersamanya. Dia tidak tahu bagaimana dia harus menghadapinya sendirian. Alhamdulillah masih ada Vanilla, pikirnya.
Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka dan membuyarkan lamunannya. Vanilla mengacungkan dua kantung kresek besar yang dia bawa.
“Tangan kanan makan siang. Tangan kiri cemilan. Nggak pake drama bilang nggak nafsu makan atau nggak pengen makan. Lu harus makan. Titik.”
Vanilla duduk di lantai kamar Mika yang sudah diberi alas karpet bergambar bus yang ada matanya dan bisa bernyanyi sambil bergoyang ke kanan dan kiri. Mika yang sedari tadi duduk di kasur, kini dia mengikuti Vanilla duduk di karpet. Untung bukan karpet ajaib karena Mika tidak dapat membayangkan jika dia sedang dalam keadaan sedih seperti ini, lalu karena duduk di karpet ajaib dia harus merentangkan tangan sembari bernyanyi “A whole new world...”. Ih... seram. Dia meraih bungkusan makan siang yang dibawa oleh Vanilla.
“Gue baru mau bilang kalau lu peka banget. Gue lapar.” Mika meringis. Di satu sisi merasa tidak memiliki keberanian untuk makan sementara dia belum mengetahui persis keadaan keluarganya di Semarang. Di sisi lain, jika lebih dari dua jam lagi perutnya masih belum terisi, cewek cantik itu pasti akan berakhir membuat keluarganya lebih khawatir. Dia kelaparan.
“Sorry ya, Van. Lu nggak jadi pulang ke Bekasi deh.”
“Nggak apa-apa. Gue temenin lu dulu di sini sampe lu bisa pulang ke rumah.”
“Operasi Bapak lancar, Alhamdulillah,” ucap Mika. Vanilla mengangguk dan menepuk bahu Mika.
“Alhamdulillah... udah makan dulu.”
Mika membuka bungkusan ketoprak miliknya. Aroma cabe rawit dan bawang putih menguar membuatnya semakin lapar.
“Van, ini ketoprak nggak lu pakein telur?”
“Ish. Sempet-sempetnya. Belum bertelur ayamnya. Udah makan aja sih.”
“Lu nggak beli susu pisang?”
“Belum dipanen pisangnya.”
“Ish!” Mika melemparnya dengan kerupuk.
Ponsel Mika bergetar. Dia bangkit dengan terburu dan langsung meraih benda bergetar itu. Barangkali ibunya yang telepon. Namun dia malah termenung melihat layar ponselnya. Hal itu membuat penasaran cewek mungil di hadapannya yang sudah siap untuk menyuapkan ketoprak ke dalam mulutnya.
“Siapa? Ibu?” tanya Vanilla sambil mengunyah makanannya.