Vanilla memeluk Mika erat, “Sabar, yaaa. Hati-hati di jalan. Kabarin terus.”
“Iya, lu kapan balik ke Bekasi?”
“Ini lagi siap-siap. Ntar siang Abang gue jemput. Gue males naik KRL.”
“Yaudah...”
“Salam buat keluarga, Mik.” Vanilla melambai riang kepada sahabatnya. Mika membalas lambaian Vanilla dan berjalan perlahan menuju pintu keluar. Dia mengenakan kaos berwarna putih yang dipadankan dengan rok katun remple berwarna hitam di bawah lutut. Rok itu pernah dipinjam oleh Vanilla dan ketika dipakai olehnya, panjangnya hingga semata kaki membuat Mika terkikik geli.
“Rok gue bisa mendadak jadi panjang banget gitu, ya?” ledek Mika. Vanilla memberengut.
“Ini bukan karena gue pendek ya. Tapi lu terlalu tinggi.”
“Nggak juga sih. Dias sama gue kan masih tinggian dia.”
“Ya berarti cowok lu terlalu tinggi.”
“Ish. Konsep dari mana sih orang lain jadi disalahin semua. Istighfar, Van...” Mika melempar sahabatnya itu dengan handuk kecil yang sedang dilipatnya. Vanilla meringis sembari tertawa karena Mika menyuruhnya untuk mengucapkan istighfar.
Mika terus melangkah menjauh dari kosnya. Sepatu kets berwarna senada dengan kaos dan roknya membuat Mika semakin sedap dipandang. Dia tersenyum melihat seseorang yang sudah menunggunya di depan warung.
“Udah semua? Ranselnya kecil banget.”
“Kalau kebanyakan berat, Yas.”
“Ini kaosan aja? Jaketnya mana?”
Mika mengangguk tersenyum sembari mengeluarkan jaket jins dari tasnya dan langsung memakainya. Dias memakaikan helm untuknya dan merapikan anak rambutnya yang berantakan. Cewek cantik itu memberikan tas ranselnya kepada Dias dan langsung duduk manis di jok belakang motor. Dias menaruh ransel Mika di bagian depan motor maticnya dan menyalakan mesin motor siap untuk berangkat.
“Pegangan nggak?” Senyum Mika mengembang dan tanpa menunggu Dias bertanya untuk kedua kalinya, dia langsung melingkarkan tangan ke pinggang cowok di depannya, keduanya tersenyum meskipun tak dapat saling melihat senyum masing-masing.
“Jalan, Bang.”
“Siap, Neng.”
***
Suasana stasiun Gambir masih sama seperti lima bulan yang lalu saat Mika pulang ke rumah untuk liburan semester genap. Dia berjalan beriringan dengan Dias menuju loket pembelian tiket kereta api. Lumayan ramai tapi tidak terlalu padat. Antriannya pun tidak terlalu panjang. Suara pengumuman yang keluar dari pengeras suara dan suara bising kerumunan membuat Mika dan Dias harus saling mendekat jika ingin mengatakan sesuatu.
“Aku mau pesen yang jam sembilan pagi aja keretanya, Yas. Kita makan dulu ya habis ini?” Mendengar ajakan cewek di sampingnya, Dias hanya mengangguk dan tersenyum. Membuat Mika mendadak kenyang padahal belum sarapan. Setelah sekitar sepuluh menit mengantri, akhirnya Mika menarik pacarnya keluar dari antrian.
“Tiket udah aman. Kamu mau makan apa?”
“Beli roti sama susu aja kali, ya? Sekalian beli bekal untuk kamu di jalan nanti. Kan perjalanannya lumayan lama. Lewat jam makan siang,” usul Dias.
“Makan nasi ayam aja. Nanti untuk bekal gampang beli roti unyil. Gimana?”
“Boleh, saya sih yang penting kamu makan.” Dias mengacak rambut Mika dan mengenggam jemarinya erat.
“Kamu kok kayaknya lesu banget. Nggak enak badan?” tanya Mika.
“Jelas lesulah. Pacarnya mau jauh,” jawab Dias. Mika menginjak kaki Dias dan tertawa. “Ih, norak.”