Stasiun Cirebon,
Laju kereta api mulai melambat saat akan memasuki stasiun Cirebon. Mika menatap ke luar jendela. Kota kelahiran bapak yang begitu banyak kenangan di dalamnya. Stasiun Cirebon atau yang dikenal sebagai stasiun Kejaksan menjadi tempat pemberhentian untuk sebagian besar kereta eksekutif yang melintas pada lintasan jalur Utara dan Selatan.
Beberapa tahun yang lalu, Stasiun yang penuh dengan ingatan masa kecil Mika ini direnovasi dengan meninggikan peron stasiun, menambah jalur dan fasilitas yang ada. Terlihat lebih rapi dan megah, namun suasananya tetap sama. Mika menghela napas dan melirik ke sampingnya. Cowok yang terus menerus melihat roti unyilnya tadi sedang merapikan tasnya. Seperti bersiap-siap akan turun dari kereta. Baru kali ini dia melihat ada yang naik kereta dari stasiun Jatibarang dan turun di stasiun Cirebon. Padahal, jika ditempuh menggunakan sepeda motor atau mobil pun tidak perlu memakan waktu yang cukup lama. Dia menggeleng. Terserah saja.
Mika kembali menatap ke luar. Keretanya melewati palang pintu perlintasan kereta yang tertutup. Terlihat para pengendara motor yang berhenti dan menunggu kereta lewat mulai gelisah kepanasan. Nara sering marah-marah karena cuaca panas yang tak tertahankan.
“Panasnya Cirebon tuh nyakitin. Kayak digigit, Pak,” ucap Nara sembari bersungut. Seulas senyum menghiasi wajah Mika. Mengenang semuanya membuatnya semakin merindukan keluarganya. Ah, adiknya memang salah satu makhluk langka lainnya. Panas cuaca kok dianalogikan dengan kalimat “seperti digigit”. Digigit apa?
“Ladies and gentleman, in few minutes, Argo Bromo Anggrek will arrive in Cirebon. To all passengers who ended the trip in Cirebon, please prepare your belongings. We remind you to stay in your seat until the train stop. Thank you for using our services and see you on the next trip.”
Suara merdu announcer kembali menggema berulang-ulang. Mata Mika berbinar. Seolah semakin banyak menyaksikan kenangan manis yang berkelebat.
“Turun di mana?” mendengar sebuah pertanyaan yang terlontar, Mika celingukan.
“Turun di mana?” cowok di sampingnya mengulang pertanyaan yang sama.
“Nanya sama gue?”
“Emang ada orang lain?”
Mika mengernyitkan dahi dan mengendikkan bahu tak peduli. Dia langsung membuang pandangannya lagi ke arah jendela. Mengobrol di dalam perjalanan merupakan salah satu hal yang sangat tidak disukai Mika.
***
“Eyang sakit, Mbak. Harus ada yang merawat di sana. Ibu kan cuma dua bersaudara. Pakdhe kurang telaten karena harus bekerja.” Ibu mencoba mendekati Mika yang diam saja sejak bapak menyampaikan perihal kepindahan mereka ke Semarang usai makan malam tadi. Makanan yang bahkan belum dicerna oleh lambungnya serasa memberontak kembali meminta untuk dikeluarkan.
“Mbak kan sudah besar. Sudah mau masuk SMA. Ibu harap Mbak bisa mengerti.”
“Tapi Mbak malas adaptasi baru, Bu. Lagian Mbak udah punya SMA incaran di sini. Banyak teman-teman Mbak juga yang mau daftar di SMA itu. Kalau harus pindah ke tempat yang kita kunjungi cuma dua tahun sekali, Mbak nggak mau."
“Kalau begitu Ibu kasih Mbak dua pilihan. Pertama, ikut Ibu dan Bapak pindah ke Semarang. Kedua, Mbak tetep melanjutkan sekolah di sini. Tinggal sama Uti. Bagaimana?”
Ibu merasa berat hati membiarkan Mika untuk memilih. Dia khawatir putri kesayangannya akan lebih memilih untuk bertahan di kota kelahiran bapak. Tapi hanya itu satu-satunya cara untuk menaklukan kerasnya hati putri sulungnya. Mika diam saja. Wajahnya yang sudah mendung semakin gelap. Dia ingin sekali menangis namun airmatanya serasa mengering. Hanya hatinya yang begitu nyeri.
“Ibu kasih Mbak waktu untuk berpikir sampai surat kelulusan Mbak keluar.”
Ibu mengusap bahu Mika pelan kemudian bangkit meninggalkannya sendiri di dapur. Airmatanya mulai menetes satu per satu sebelum akhirnya berubah menjadi hujan deras.
Seseorang menepuk bahunya keras.
“Mbak! Bantuin belajar.”
“Belajar aja sendiri!” Mika menyeka airmatanya dengan kasar dan berlalu meninggalkan Nara.