MIKA PELAYAN SENSI

Euis Shakilaraya
Chapter #9

Keputusan Mika

“Pak, Mbak tahu cepat atau lambat, kita harus membahas ini.”

Bapak tersenyum. Ibu sudah sangat gelisah duduk bersimpuh di samping bapak. Kini, Mika, bapak dan ibu sedang duduk bersama di kamar tamu yang ditempati oleh mereka untuk sementara.

“Sudah besar rupanya anak Bapak.”

“Jadi bagaimana sekarang, Pak?”

“Hemmh, polisi sudah mencari tahu penyebab kebakarannya. Hasilnya karena korsleting listrik. Alhamdulillah, apinya tidak menyebar ke rumah tetangga. Toko dan rumah bagian depan kita sampai hancur tidak berbekas karena ada satu tabung gas yang masih terisi meledak. Sisanya sudah kosong,” jelas bapak yang langsung membuat mata mika berair. Dia seolah dipaksa untuk membayangkan kejadian malam itu.

Alhamdulillah, Bapak bisa mengeluarkan Nara dari pintu samping. Pas Bapak balik lagi untuk mengeluarkan Ibu yang sudah lemas, pintu samping habis terbakar. Kaki Bapak ndak sengaja kena runtuhan balok yang terbakar. Untung Ibumu kuat dan kami dapat keluar dari pintu belakang,” lanjut bapak. Ibu sudah menangis. Mika menahan airmatanya.

“Ya, intinya... bersyukur kita semua masih diselamatkan oleh Allah. Bapak sudah mengikhlaskan semuanya.” Bapak menutup penjelasan akan kejadian malam kebakaran itu. Mika menegakkan bahunya dan merengkuh jemari bapak.

“Terimakasih sudah menyelamatkan Nara dan Ibu, Pak. Terimakasih juga Bapak dan Ibu sudah berjuang untuk dapat keluar dari rumah. Mbak nggak tahu kalau harus kehilangan kalian.” Tangis Mika pecah. Hidungnya memerah. Bapak mengangguk dan menggenggam jemari putrinya yang sudah dewasa.

“Untuk kuliah Mbak, Bapak masih ada tabungan. Ya, tapi kemungkinan Mbak harus pindah ke kos yang lebih murah. Ndak apa-apa?” melihat putri dan isterinya diam saja, bapak melanjutkan kata-katanya, “Kalau Nara, dia harus pindah sekolah ke sekolah umum. Sekolah farmasi biayanya lumayan. Apalagi dia baru masuk kelas dua. Bapak ndak tahu kapan bisa stabil lagi keuangan kita. Yang jelas kita harus memulai semuanya kembali dari awal di Cirebon.”

Mika merasakan nyeri di dadanya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia pun tak memiliki solusi lain untuk bapak. Kini, dia hanya dapat memeluk ibunya erat. Dia ingin bangun dari mimpi buruk ini.

***

Mika membuka ponselnya. Ada tiga pesan yang belum terbaca dari Dias dan ada dua panggilan tak terjawab dari Vanilla. Dia membuka pesan dari Dias terlebih dahulu.

“Iya, Sayang. Yaudah kamu istirahat ya.”

“Saya sebentar lagi sampe rumah. Ini lagi istirahat dulu makan nasi goreng.”

Alhamdulillah, saya udah sampe rumah nih, Sayang. Kamu udah makan? Atau udah tidur?”

Mika melihat terakhir pacarnya online sekitar lima belas menit yang lalu. Dia ragu untuk membalas. Saat akan menutup halaman chatnya, tiba-tiba cowok dengan foto profile logo salah satu klub bola yang tidak dia ketahui namanya itupun terlihat kembali online dan sedang mengetik.

“Mau saya telepon?”

Mika menghela napas dan mulai mengetik balasan untuk pacarnya.

“Hehe. Aku baru mau bales chat kamu. Nggak apa nggak telepon dulu. Aku sekamar sama Nara. Dia agak resek. Ibu apa kabar?”

“Alhamdulillah, Baik. Kalau Bapak sama Ibu kamu gimana?”

“Bapak masih kesulitan jalan. Kalau Ibu, biasa deh... kalau aku pulang kan udah kayak apaan nemplok terus.”

“Haha. Namanya juga kangen. Kamu kan emang ngangenin. Saya aja udah kangen banget.”

“Udah sana tidur. Motoran Jakarta-Purwakarta emang nggak capek?”

“Capek, tapi saya suka. Naik motornya juga nggak ngebut.”

“Lagian kenapa sih nggak pake kereta aja?”

“Ya, nggak apa. Saya suka di perjalanannya kalau naik motor. Rumah Ibu selalu bikin kangen dan tiap mau pulang, saya ngerasain sesuatu gitu.”

“Apaan?”

“Apa ya?”

Lihat selengkapnya