Stasiun Jatinegara,
Mika menyusuri jalan keluar dari stasiun Jatinegara. Stasiunnya tidak terlalu besar. Kereta yang dia tumpangi sudah melesat kembali menuju stasiun Gambir. Dia sengaja turun di sini karena Vanilla mengatakan bahwa dia tidak akan menjemputnya jauh-jauh ke Gambir. Teman macam apa? Fffhhh!
Ponsel Mika bergetar. Ada sebuah panggilan masuk dari Vanilla. Dia buru-buru mengangkatnya.
“Udah keluar?”
“Udah. Lu di mana?”
“Gue di sebrang yak. Ribet banget parkirnya anjir.”
“Mobil lu warna apa?”
“Jizz mirih! Pake punya kakak ipar gue.”
“Oh iya gue udah liat. Tunggu gue nyebrang dulu. Matiin!”
Mika mengetuk kaca mobil Vanilla dan tidak lama kemudian, kuncinya terbuka. Dia langsung membuka pintu mobil sahabatnya dan melempar tubuhnya di jok samping pengemudi. Vanilla hanya mengenakan kaos oversize dan celana pendek. Sandal rumah dan hemmh... topi. Entah style siapa yang dia tiru.
“Nggak sekalian pake kacamata?” sindir Mika. Sahabatnya itu hanya terkekeh. Dia menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya pelan setelah membuka sedikit kaca mobilnya untuk memberikan uang satu lembar lima ribuan kepada tukang parkir.
“Makan dulu nggak?” tanya Vanilla. Mika mengangguk mantap. Sejak berpamitan pada ibu dan bapak, juga saat memeluk Nara di stasiun Semarang Tawang, perasaannya tak kunjung membaik. Penuh kecamuk. Pikirannya terbagi dan tidak tahu harus memulai dari mana kehidupan barunya.
“Bakso sebelum masjid Al-Azhar atau Mukidi?” tanya Vanilla lagi. Kini lebih heboh.
“Bebas. Lu yang nyetir. Sorry aja gue bukan anak kampung sini. Mana paham?”
“ISH! Kan tinggal jawab.” Cewek mungil itu misuh-misuh. Mika menyentil dahinya membuatnya meringis kesakitan.
***
Mika melirik aneh kepada sahabatnya yang sedang menyetir mobil tanpa kendala apapun. Padahal, tadi dia memakan bakso dengan porsi yang terlalu banyak sampai kuahnya tumpah-tumpah. Bahkan sampai dia harus meminta satu mangkuk kosong untuk memisahkan isi dan kuahnya terlebih dahulu agar dapat diaduk. Tapi dia baik-baik saja. Mungkin Vanilla memang definisi paling tepat dari alien yang berniat menaklukan bumi tapi tidak pernah berhasil.
Mika mengusap perutnya pelan. Dia merasakan kekenyangan dan mual sekaligus. Dia masih mengingat rasa masakan dan pelukan hangat ibu. Kalau mereka tidak menumpang di rumah buliknya, mungkin Mika baru akan kembali ke Jakarta setelah puas melepas kangen kepada keluarganya.
Ponsel Vanilla berdering lantang. Dia langsung menepikan mobilnya sejenak dan mengangkat panggilan yang masuk.
“Halo, Pa. Lha, gimana? Dih, tauk ah. Orang udah bentar lagi sampe rumah. Ya kenapa harus aku? Begitu aja terus, Pa. Ngancemnya bagus banget emang. Yaudah! Puter balik nih! Sebel!”
Cewek di sebelah Mika langsung melempar ponselnya ke jok belakang mobil. Sepertinya kesal sungguhan. Mika hanya menatapnya kasihan. Sudah dipastikan papanya meminta dia melakukan sesuatu di luar nalar. Dia memilih diam saja. Tidak ingin terlibat pertengkaran antara papa dan anak.
“Jadi, maren pas kelaran acara reuni keluarga tuh, tante gue yang kesekian baru kasih kabar kalau dia nggak bisa pulang dari Singapur karena lagi banyak kerjaan. Jadi cuma anaknya yang pulang. Dan itupun anaknya nggak dateng. Taunya dia malah ngebolang sendirian ke sana ke mari. Katanya, lagi survey tempat buat buka cabang usahanya di Indo,” jelas Vanilla tiba-tiba sembari kembali menyalakan mobilnya.
“Jujur gue nggak peduli,” ucap Mika. Sahabatnya terkekeh.
“Intinya, sekarang kita ke Gambir.” Vanilla mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi.
“Najong! Begitu aja terus hidup lu, Van!” tawa Mika hampir menyembur.
“Papa gue tuh punya masalah hidup apa ya?”
“Mana gue tahu!”
“Udah lu mending tidur aja, Mik. Nggak guna!”
***
“Gue mau ambil cuti kuliah, Van!” Mika memulai pembicaraan saat mereka sudah sama-sama merebahkan tubuhnya di kasur empuk Vanilla.
“Yakin?” tanya Vanilla.
“Bener-bener nggak ada solusi. Dan selain cuti kuliah, gue mesti cari kerja.”
“Mau kerja apaan?”
“Apa aja.”