Sekitar lima belas menit berlalu, masih belum ada yang memulai percakapan. Mika dan Dias duduk saling berhadapan. Terlihat jelas di mata cowok itu bahwa dia sangat merindukan cewek cantik di hadapannya. Bahkan jika situasinya tidak secanggung ini, mungkin dia sudah menggamit jemari dan mengelus rambut Mika sembari mengatakan bahwa dia kangen.
Melihat betapa seriusnya raut muka pacarnya itu, Dias sudah dapat menduga tentang hal yang akan dibicarakan olehnya. Ingin sekali dia yang melepaskan agar meringankan beban di hati Mika. Namun, hal itupun sangat berat untuknya.
Saat Mika begitu marah padanya beberapa hari yang lalu, dia tahu bahwa pacarnya sedang tidak baik-baik saja. Dia pun sudah menyiapkan hatinya jika memang perpisahannya dengan Mika semakin dekat. Berada di posisi Mika memang tidak mudah. Dia memiliki beban berat sebagai anak pertama yang harus membantu menguatkan keluarganya yang tertimpa musibah. Terlebih Dias masih belum mendengar apapun mengenai keadaan di Semarang.
“Aku kangen,” ucap Mika. Matanya sudah berair. Jika saja cewek di hadapannya bukan Mika, dalam situasi seperti ini, pasti sudah menangis. Dias mengangguk dan tersenyum.
“Saya tahu.”
“Yas, sejak dari kos, aku udah mantap untuk minta putus ke kamu. Tapi sekarang tepat di depan kamu, yang terbayang cuma hal menyenangkan yang udah aku lewatkan sama kamu selama ini. Aku nggak yakin bisa baik-baik aja tanpa kamu.” Satu dua tetes airmata Mika akhirnya jatuh.
Pipi cewek itu tidak tergapai. Dias terlalu jauh. Kakinya tidak dapat bergerak, hanya hatinya saja yang mulai sakit. Ingin sekali dia menyeka airmata ceweknya yang mulai mengalir deras. Namun dia mengurungkan niat dan mencoba menenangkan hatinya.
“Kamu udah makan?” tanya Dias. Mika mengangguk.
“Kalau memang menurut kamu, dengan melepaskan saya bisa sedikit mengurangi beban hati kamu, nggak apa-apa, Mik. Saya nggak apa,” lanjut Dias.
Mika menutup wajah cantiknya dengan kedua telapak tangannya. Hal yang justeru sangat dia inginkan ternyata tetap saja sangat menyakitkan. Dia tidak tahu persis mana yang lebih menyakitkan. Apakah karena dia sudah kehilangan? Atau karena dia yang membuat Dias akhirnya kehilangan? Pandangannya mengabur. Dia tidak dapat melihat sosok Dias dengan jelas. Cowok itu tersenyum manis dan bangkit. Dias berlalu setelah menepuk-nepuk kepalanya pelan.
Seperti ada yang menusuk hatinya tapi tidak terlihat. Meski banyak musuhnya yang berpotensi untuk mengguna-guna dirinya, tapi dia yakin kalau rasa sakit yang sekarang dia rasakan sungguh-sungguh karena dia telah kehilangan Dias. Dia kehilangan.
***
“Udah dong, Mik. Katanya mau putusin Dias biar fokus. Tapi kalau lu nangis terus kayak gini, gimana bisa fokus? Tau gitu mending nggak usah putus sekalian.” Vanilla mencoba menenangkan sahabatnya yang tak kunjung berhenti menangis. Mika menyeka airmatanya.
“Gue janji cuma nangis untuk malam ini aja," ucap Mika.
“Janji yaaa.”
“Iya.”
“Mau gue nginep?”
“Nggak usah, Van. Gue mau sendiri.”
Vanilla mengangguk dan keluar dari kamar Mika. Dia mengingatkan sahabatnya agar tidak lupa mengunci pintu. Mika mengangguk. Dia sedang ingin sendiri. Hatinya sangat sakit namun di lain sisi, dia lega. Sampai pada akhir hubungan mereka, Dias memang selalu mempermudah seluruh keinginannya. Padahal dia yakin hal ini pun tidak mudah untuk pacarnya. Mika tahu betul bagaimana cowok itu sangat menyayanginya.
Kenangan selama satu tahun lebih menjalani hari-hari yang dipenuhi dengan Dias, membuat airmatanya semakin mengalir deras. Rasanya, baru hari kemarin semuanya baik-baik saja. Rasanya, baru beberapa menit yang lalu dia masih dapat bersenda gurau dengan pacarnya melalui telepon. Seolah hanya sepersekian detik, kehidupannya runtuh. Hidup nyaman saat masih bergantung kepada bapak, semuanya hilang.
Setelah lelah menangis, tekadnya membulat. Dia hanya harus memulai kebiasaan baru. Karena masa patah hati, hanyalah masa peralihan. Waktunya tidak cukup banyak untuk memikirkan semua itu. Dia hanya ingin segera mendapatkan pekerjaan dan dapat menyelesaikan kuliahnya.
***
“Belum ada panggilan, Mik?” yang ditanya hanya menggeleng lemas.
Sudah sekitar dua minggu setelah dia menyebar surat lamaran kerja, namun belum ada kelanjutannya sama sekali. Usahanya selalu berhenti sampai tahap wawancara dengan HRD dan tak pernah ada satupun kabar yang menyatakan dia ditolak atau diterima setelahnya.
Tiga hari yang lalu, Mika pindah ke kamar Vanilla. Demi menghemat uang yang bapak berikan untuk biaya bertahan hidup selama belum mendapatkan pekerjaan. Vanilla senang-senang saja. Lagipula, dikarenakan suasana rumahnya yang selalu ramai, dia merasakan kesepian saat sedang di kos. Dia merasa sangat bahagia saat akhirnya Mika setuju untuk pindah ke kamarnya. Dia tidak rela jika sahabatnya harus mencari kos yang jauh darinya.